Amnesty Menduga Ada Penahanan Sewenang-Wenang saat Kerusuhan 21 Mei
Amnesty International Indonesia menduga bahwa polisi menahan para pengunjuk rasa tanpa surat pemberitahuan resmi pada saat kerusuhan di Jakarta, 21-23 Mei lalu. Polisi juga ditengarai tidak memberi tahu keluarga pengunjuk rasa terkait penahanan tersebut.
Bahkan, keluarga tak diperbolehkan menemui mereka selama beberapa hari. "Tidak jelas pula apakah akses terhadap penasihat hukum diberikan kepada mereka yang ditahan," kata peneliti Amnesty International Indonesia Papang Hidayat di kantornya, Jakarta, Selasa (25/6).
Papang mengatakan, jika dugaan itu benar, berbagai persoalan tersebut merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab, polisi telah mengabaikan hak atas peradilan yang adil sebagaimana tertuang dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
(Baca: Amnesty Duga Polisi Lakukan Penyiksaan saat Kerusuhan 21-23 Mei)
Penahanan yang sewenang-wenang dapat memfasilitasi terjadinya penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya. "Ketika orang ditahan dalam gelap semakin mungkin ia disiksa," kata Papang.
Amnesty International Indonesia menemukan korban yang tidak mendapat perhatian usai kerusuhan. Berdasarkan keterangan keluarga korban, para pengunjuk rasa yang ditahan tidak mendapatkan pemulihan.
Padahal, ada korban yang sampai luka hingga meninggal dunia akibat kerusuhan tersebut. "Ini pelanggaran HAM yang dianggap paling serius," kata Papang.
Karena itu, Amnesty International Indonesia meminta pemerintah memastikan hak-hak peradilan terhadap mereka yang ditahan. Selain itu, Amnesty International Indonesia meminta adanya investigasi terkait dugaan penyiksaan oleh polisi.
(Baca: Polri Tangkap Penyebar Hoax Penyerangan Masjid Petamburan)
Papang menduga polisi melakukan penyiksaan kepada setidaknya lima orang di lahan kosong milik Smart Service Parking di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta pada 23 Mei 2019 pukul 05.30 WIB. Penyiksaan tersebut diduga terjadi ketika polisi menyisir para pengunjuk rasa yang lari pascakerusuhan.
Dugaan kekerasan oleh polisi juga terjadi depan Fave Hotel, Kampung Bali dan dekat halte Kementerian ATR/BPN, Jalan H Agus Salim, Jakarta Pusat. Ada pula dugaan kekerasan oleh polisi yang terjadi di dekat perempatan Jalan Sabang dan Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.
Papang mengatakan, investigasi terkait persoalan tersebut tak boleh melibatkan Kepolisian. Hal tersebut dilakukan agar investigasi dapat berjalan secara independen.
(Baca: Kapolri Bantah Kivlan Zen Dalang Kerusuhan 21-22 Mei 2019)
Selain itu, Amnesty International Indonesia mengimbau agar polisi dilatih menerapkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian. Mereka pun meminta agar sistem akuntabilitas dalam menangani dugaan pelanggaran HAM oleh polisi ditinjau kembali.
"Sudah saatnya Indonesia memiliki mekanisme aduan polisi yang independen, yang dapat meneruskan dugaan pelanggaran HAM dengan bukti memadai kepada Kejaksaan untuk dilaksanakan penuntutan," kata Peneliti Amnesty International Indonesia Aviva Nababan.
(Baca: Polisi Investigasi Penyebab Meninggalnya 8 Korban Aksi 22 Mei)