Potensi Pemilu 2019 Jadi yang Terburuk Setelah Reformasi
Pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang berlangsung serentak pada 17 April 2019 berpotensi menjadi Pemilu terburuk setelah reformasi. Potensi tersebut terjadi apabila penyelenggara yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu gagal mengantisipasi masalah.
Peneliti politik dari Exposit Strategic Arif Susanto mengatakan Pemilu 2019 lebih kompleks karena pertama kali diadakan secara serentak, persyaratan ketat dengan ambang batas atau parliamentary treshold 4%, hingga jumlah dan kultur pemilih yang lebih besar dari pesta politik sebelumnya.
"Hal ini kurang diantisipasi KPU dan mestinya ada waktu antisipasi sejak UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 disahkan," kata Arif dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (14/3).
(Baca: Wiranto Minta Masyarakat Tak Resah dengan Isu Kerusuhan di Pemilu 2019)
Arif menyebut terdapat enam potensi yang membuat Pemilu 2019 menjadi yang terburuk. Pertama, penetapan partai politik yang bermasalah hingga KPU dan Bawaslu sempat berselisih soal parpol yang lolos ke ajang Pemilu.
Kedua, sinyalemen mahar politik salah satu calon presiden dan wakil presiden namun tidak ditindaklanjuti penyelenggara. Politikus Demokrat Andi Arief pernah menyebut mengenai dugaan uang mahar dalam proses pemilihan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. "Dugaan saya penyelenggara tidak percaya diri (untuk mengusut)," kata Arif.
Ketiga, Daftar Pemilih Tetap yang belum final. Dia memberi contoh komplikasi masalah DPT ini muncul dengan pemilih ganda sebanyak 2 juta, belum terekam Kartu Tanda Penduduk elektronik sebanyak 5 juta, masuknya 370 warga asing dalam DPT, hingga kemungkinan 5.000 orang tidak masuk DPT karena baru berusia 17 tahun April nanti.
(Baca: LIPI Sebut Pemilu 2019 Jadi ‘Kuburan Massal’ Partai Politik)
Keempat, masuknya 81 calon legislator mantan narapidana kasus korupsi yang dapat membuat pemilih enggan berpartisipasi mencoblos.
Kelima, maraknya politik kebencian berbasis identitas dan propaganda kebohongan. Arif menilai kebohongan ini aneh lantaran pelaku yang ditangkap hanya berada di tingkat bawah. Keenam, hambatan teknis seperti jumlah Tempat Pemungutan Suara yang minim dibandingkan pemilih.
Arif menyebut, dua hal yang membuat potensi pemilu terburuk terutama karena penyelenggaraan pilpres dan pileg bersamaan serta polarisasi di tengah masyarakat saat ini. "Dulu, aspek primordial (dalam memilih) ada tapi polarisasinya tidak seperti sekarang," katanya.
(Baca: Laporkan DPT Ganda, Adik Prabowo Sebut Tiga Tanggal Kelahiran Janggal)
Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menambahkan masalah seperti 370 WNA masuk DPT merupakan hal kecil yang dapat diselesaikan penyelenggara pemilu. Namun secara politik, hal ini dapat menjadi pintu masuk delegitimasi pemilu. Makanya Ray meminta satu bulan ini KPU menutup celah-celah tersebut. "Syukur-syukur tidak ada lagi masalah," katanya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus juga menuntut transparansi informasi diberikan KPU. Dirinya menyatakan kecewa lantaran minimnya informasi yang diberikan KPU padahal hal tersebut efektif dalam menangkal hoaks.
"Transparansi bukan saja di depan media tapi bagaimana informasi diketahui publik," ujarnya.
(Baca: KPU Minta Elite Politik Tak Ikut Sebarkan Disinformasi)