KEIN: Utang Bukan Barang Baru, Sudah Ada Sejak Soeharto sampai SBY
Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) menyebutkan utang pemerintah untuk membangun infrastruktur saat ini bukan barang baru. Sejak pemerintahan Presiden RI kedua Soeharto hingga Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), utang sudah jamak dilakukan.
Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta mengatakan, hal yang paling penting dari utang adalah untuk tujuan produktif dan kemampuan fiskal untuk membayar kembali utang tersebut. Di era Soeharto, pembangunan waduk pendukung swasembada pangan dibiayai dari pinjaman. Dari penelusuran Katadata, salah satu waduk yang dibangun dengan utang adalah Waduk Kedung Ombo yang menggunakan pinjaman dari Bank Dunia dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Yang penting manfaatnya, apalagi semua pengelola negara mulai Bung Karno dan Pak Harto menginginkan negara kita maju," kata Arif dalam diskusi KAHMI tentang Utang dan Pembangunan Infrastruktur, di Jakarta, Kamis (14/2).
Arief juga mengatakan, hal yang paling penting dalam pembangunan infrastruktur adalah ketersediaannya dalam waktu sesegera mungkin. Apalagi, membangun infrastruktur bukan soal untung atau rugi namun menyeimbangkan pembangunan di wilayah Indonesia Barat dan Timur untuk memakmurkan rakyat.
(Baca: Impor Pangan dan Utang Diramal Jadi Isu Utama Debat Capres Putaran Dua)
Pengamat ekonomi yang juga mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M. Syarkawi Rauf menjelaskan rasio utang terus turun sejak 1998 hingga saat ini. Syarkawi menyebut rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 1998 mencapai 85,4% tetapi pada akhir 2018 mencapai 30%.
Meski ada kenaikan sejak era Susilo Bambang Yudhoyono, namun angka rasio utang di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) masih jauh dari ambang batas yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003. Dalam UU tersebut, batas utang aman berada pada angka 60% dari PDB. "Semua negara pasti utang, yang penting kemampuan bayarnya," ujar Syarkawi.
Apalagi pembangunan infrastruktur seperti jalan dirasa penting untuk mengurangi biaya logistik. Syarkawi mengatakan, ongkos logistik RI masih berada di kisaran 25% dari PDB. Alhasil, Indonesia perlu melanjutkan pembangunan infrastruktur agar dapat berkompetisi dengan negara-negara lain. "Tidak mungkin bersaing dengan Singapura, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Vietnam (tanpa infrastruktur)," kata dia.
(Baca: Utang Kembali Ramai Dibahas, Sri Mulyani: Banyak Orang Belum Paham)
Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebut masih ada kebutuhan pendanaan pembangunan infrastruktur yang tidak bisa dipenuhi pemerintah sebesar Rp 402 triliun. Oleh sebab itu, diperlukan berbagai skema kreatif agar kebutuhan pembiayaan dapat ditutup.
"Jadi ada kebijakan Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), investasi swasta, dan penugasan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)," kata Kepala Sub Bidang Penyiapan Kebijakan Investasi Infrastruktur, Direktorat Bina Investasi Infrastruktur Kementerian PUPR Putut Marhayudi.