Jadi Tersangka, Setya Novanto Kembali 'Serang Balik' Pejabat KPK

Kuasa Hukum Setya Novanto melaporkan beberapa pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Bareskrim Mabes Polri. Laporan itu setelah KPK mengumumkan secara resmi status Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).
Pejabat KPK dilaporkan yakni Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Direktur Penyidikan KPK Brigjen (Pol) Aris Budiman. Selain itu penyidik KPK AKBP A Damanik. Mereka dianggap terlibat dalam menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), serta penetapan Setya Novanto sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Karena mereka yang menandatangani surat itu semua," kata pengacara Novanto, Fredrich Yunadi di Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (10/11) malam. (Baca: KPK Resmi Umumkan Setnov Kembali Jadi Tersangka Korupsi e-KTP)
Laporan itu teregister dengan nomor LP/1192/XI/2017/Bareskrim tertanggal 10 November 2017, dibuat atas nama Achmad Rudyansyah.
Dalam laporan tersebut keempatnya dituding melakukan tindak pidana kejahatan yang dilakukan dalam jabatan, yang diatur dalam Pasal 414 juncto Pasal 421 KUHPidana.
Yunadi mengatakan, laporan tersebut dibuat karena KPK dianggap tidak menghormati putusan praperadilan dengan mengeluarkan Sprindik atas nama Setya Novanto pada 31 Oktober 2017. Setya Novanto pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus e-KTP pada 17 Juli 2017. Namun, status tersangka gugur dengan dikabulkannya gugatan Novanto oleh Hakim Tunggal Praperadilan Cepi Iskandar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut Yunadi, petitum ketiga putusan praperadilan memerintahkan KPK menghentikan penyidikan terhadap Novanto seperti tertera dalam Sprin.Dik-56/01/07/2017.
(Baca: Pimpinan Disidik Polisi, KPK: Surat Pencegahan Setnov Sah Secara Hukum)
Yunadi menilai Sprindik yang diterbitkan KPK dalam penyidikan terbaru terhadap Novanto memuat materi serupa. Karenanya, ia menuding KPK telah melawan putusan pengadilan dan menyalahgunakan kekuasaannya dengan menerbitkan Sprindik. "Dengan demikian pihak KPK telah melakukan perbuatan melawan hukum," kata Yunadi.
Yunadi mengatakan, bukti yang dilampirkan dalam laporan ini adalah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap Setya Novanto yang diantarkan pada 3 November 2017 lalu. Surat itu diantarkan KPK ke rumah Novanto di Jalan Wijaya XIII, Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada sore hari, Jumat 3 November 2017.
"Itu adalah bukti di mana oknum KPK melakukan penghinaan terhadap putusan peradilan," kata dia.
Laporan ini menambah deret 'serangan balik' yang dilakukan Setya Novanto terhadap pimpinan KPK. Dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang, kini disidik kepolisian karena dianggap menyalahgunakan wewenang dalam membuat surat permohonan pencegahan Setnov ke luar negeri.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, penetapan kembali Setya Novanto sebagai tersangka berdasarkan bukti permulaan yang cukup. KPK juga telah mempelajari secara seksama putusan praperadilan serta aturan hukum terkait lainnya sebelum menetapkan Novanto sebagai tersangka.
Setelah proses penyelidikan dan dilakukan gelar perkara, KPK pun menerbitkan Sprindik terhadap Setya Novanto. "KPK menerbitkan Surat Perintah Penyidikan pada tanggal 31 oktober 2017 atas nama SN, anggota DPR RI," kata Saut di kantornya, Jakarta, Jumat (11/10).
(Baca: Setnov Mangkir dari Pemeriksaan, DPR Minta KPK Izin Jokowi)
Saut menuturkan, Setya Novanto diduga bersama-sama dengan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, eks Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman, dan eks Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dirjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Setya Novanto pun diduga menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. "Sehingga diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp 5,9 triliun dalam pengadaan paket KTP elektronik tahun 2011-2012 pada Kemendagri," kata Saut.
Setya Novanto disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.