Demi Investasi, Kementerian ESDM Revisi 3 Aturan Energi Terbarukan

Anggita Rezki Amelia
3 Agustus 2017, 19:06
Surya EBT
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Teknisi melakukan perawatan instalasi panel listrik tenaga surya di Hotel Wujil, Ungaran, Jawa Tengah, Rabu (30/10/2016)

(Baca: Jonan Tambah Porsi Energi Baru Terbarukan untuk Proyek Listrik)

Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Abadi Poernomo mengatakan pemerintah memang perlu merevisi klausul kondisi kahar yang disebabkan pemerintah yang bisa menjadi tanggungan badan usaha (government force majeure). Tujuannya agar badan usaha kembali tertarik untuk berinvestasi di sektor Energi Baru Terbarukan.

Menurut Abadi, klausul itu dapat mengganggu investor dalam mencari pendanaan. Sebab lembaga pendanaan tak mau memberi pinjaman pada investor dengan adanya resiko tinggi itu. "Jadinya kami tidak bisa berbuat apa pun," kata dia di Jakarta, Rabu (2/8).

Hal yang sama disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengembang PLTA (APPLTA) Riza Husni. “Kondisi kahar itu berpotensi konflik dan tidak bankable (diterima bank),” kata dia kepada Katadata, Kamis (3/8).

Selain itu, klausul yang mendapat sorotan adalah pola kerja sama membangun, memiliki, mengoperasikan dan mengalihkan (Build, Own, Operate, and Transfer/BOOT). Dengan skema itu artinya setelah 25 tahun, aset pembangkit akan diserahkan ke negara.

Menurut Riza jika diminta oleh negara harganya harus sesuai pasar yang wajar, bukan nol rupiah. “Kami minta pasal itu ditiadakan,” ujar dia. (Baca: PLN Targetkan Raup Rp 10 Triliun dari Sekuritisasi Aset)

Riza juga mengatakan hal yang perlu direvisi dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 tahun 2017 adalah mengenai harga listrik. Untuk pembangkit kecil di bawah 10 Megawatt (MW) sebaiknya menggunakan skema harga tetap agar tidak ada negosiasi berkepanjangan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...