Penandatanganan Kontrak Blok East Natuna Mundur
Keinginan pemerintah untuk mempercepat pengembangan Blok East Natuna belum sesuai harapan. Konsorsium yang akan mengembangkan blok tersebut masih belum mau menandatangani kontrak.
Direktur Pembinaan Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tunggal mengatakan pemerintah sebenarnya sudah menyiapkan draf kontrak untuk Blok East Natuna. “Kalau kemaren mau tandatangan, kami secara draf sudah siap,” kata dia di Kementerian ESDM Jakarta, Jumat (30/9).
(Baca: Exxon dan PTT Belum Sepakat, Kontrak Blok East Natuna Terancam)
Bahkan dalam draf tersebut, pemerintah sudah menawarkan skema bagi hasil untuk Pertamina di Blok East Natuna. Skemanya pemerintah hanya mendapat bagi hasil sebesar 60 persen dan sisanya PT Pertamina (Persero). Kemudian untuk gas, bagian pemerintah hanya 55 persen dan Pertamina 45 persen.
Meski demikian, penandatangan kontrak tersebut urung dilakukan. Konsorsium yang ada di blok ini, yakni Pertamina, ExxonMobil dan PTT EP Thailand masih belum yakin dengan cadangan yang ada di blok tersebut. "Perkiraan cadangan masih belum clear karena baru satu sumur," kata Tunggal.
Untuk membuktikan seberapa besar cadangan yang ada, kata Tunggal, kontraktor perlu untuk mengebor sumur-sumur di struktur yang belum dibor. Artinya Pertamina dan mitranya masih memerlukan waktu untuk studi dan kegiatan seismik.
Selain itu, ExxonMobil juga belum sepakat mengenai konsep yang ditawarkan pemerintah. Perusahaan migas asal Amerika Serikat ini menginginkan agar pengembangan minyak dan gas yang ada di blok tersebut dilakukan bersamaan. (Baca: Luhut Janjikan Gas Blok Natuna untuk Industri Dalam Negeri)
Pemerintah menginginkan agar minyak yang ada di blok tersebut diproduksi lebih dulu dibandingkan gasnya. Alasannya jika memakai gas, membutuhkan banyak infrastruktur dan mahal. Apalagi kandungan karbondioksida (CO2) di East Natuna mencapai 72 persen.
Sampai saat ini masalah karbondioksida ini juga belum ada solusinya. “Kandungan gas CO2 yang ada di blok tersebut mau dibawa ke mana. Pasar gasnya kemana, itu kan masih banyak. Tapi Exxon maunya gas dan minyak jadi satu,” ujar Tunggal.
Mengenai pemberian insentif, menurut Tunggal masih perlu terlebih dulu menghitung keekonomian blok tersebut. “Umpamanya mereka perlu mengebor sumur, biayanya berapa, baru dihitung keekonomiannya. Investasinya segini, berarti kurang ekonomis. Itu dikaji oleh SKK Migas,” kata dia. (Baca: Pemerintah Siapkan Insentif Agar Blok East Natuna Cepat Produksi)
Dihubungi terpisah, Senior Vice President Upstream Strategic Planning and Operation Evaluation Pertamina Meidawati mengatakan kontraktor masih membutuhkan waktu sebelum tandatangan kontrak. "Di awal kami perkirakan hal ini dapat selesai ternyata belum. Pastinya term& condition," ujarnya kepada Katadata, Jumat (30/9).
Sebelumnya Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro mengatakan ada enam kompleksitas pengembangan East Natuna. Pertama, produksi gasnya bisa mencapai 4 miliar kaki kubik per hari (BSCFD), tapi hanya 1 BSCFD yang bisa dipasarkan.
Kedua, pengeborannya meliputi sumur produksi dan sumur re-injeksi CO2. Ketiga, membutuhkan area khusus untuk penyimpanan CO2. Keempat, perlu pemrosesan khusus untuk pemisahan CO2 terbesar di dunia. (Baca: Pemerintah Siapkan Teknologi Khusus Pengembangan Blok East Natuna)
Kelima, membutuhkan waktu yang lama untuk konstruksi fasilitas pemrosesan terapung terbesar di dunia. Keenam, letak lapangan gas jauh dari pasar atau konsumen.