Peringkat Utang Pertamina Terancam Jatuh di Bawah Level Investasi

Yura Syahrul
26 Januari 2016, 13:49
paparan kinerja Pertamina Triwulan III 2015
Arief Kamaludin|KATADATA
Manajemen Pertamina saat memaparkan kinerja kuartal III-2015 di Jakarta, 20 Oktober tahun lalu.

Selain Indonesia,  Moody’s juga tengah mengkaji penurunan peringkat dua perusahaan migas di kawasan Asia Tenggara. Pertama, Petroliam Nasional Berhad (Petronas) asal Malaysia yang menyandang peringkat perusahaan dan utangnya A1. Kedua, PTT Public Company Limited asal Thailand yang menyandang peringkat Baa1 dan peringkat obligasi subordinasi Baa3.

Vikas Halan, Vice President – Senior Credit Officer Corporate Finance Group Moody's di Singapura, mengatakan terus melorotnya harga minyak dunia membuat kemampuan pendanaan perusahaan migas menurun. Itulah yang mendasari Moody’s mengkaji penurunan peringkat perusahaan berikut peringkat utangnya. Fokus pengkajian itu terhadap perusahaan yang menyandang peringkat dalam kisaran A1 hingga B3 alias batas level layak investasi (investment grade). Semakin tingginya peringkat menunjukkan daya tahan lebih kuat perusahaan dalam menghadapi harga minyak yang rendah.

2016, harga minyak makin jatuh

Moody’s melihat, harga minyak terus memburuk secara substansial dalam beberapa pekan terakhir hingga mencapai posisi terendah dalam lebih satu dekade terakhir. Pada Selasa ini (26/1), harga minyak jenis WTI di bursa NYMEX, Amerika Serikat, turun 1,68 persen dari hari sebelumnya menjadi US$ 29,83 per barel. Bahkan, pada 20 Januari lalu sempat menyentuh US$ 26,55 per barel. Sedangkan harga minyak Brent di bursa ICE melorot 1,34 persen menjadi US$ 30,09 per barel. Sedangkan pada 20 Januari lalu sempat jatuh ke level US$ 27,88 per barel.

(Baca: Banyak Perusahaan Tutup Jika Harga Minyak di Bawah US$ 30)

Moody’s memperkirakan harga minyak akan terus merosot dan peluang bangkit kembali (rebound) dalam jangka menengah ini masih lambat. Pasalnya, Iran siap menambah pasokan minyak dunia sekitar 500 ribu barel per hari pasca pencabutan sanksi ekspor minyak. Sementara itu, negara-negara anggota organisasi pengekspor minyak (OPEC) dan banyak produsen minyak non-OPEC tak mau kehilangan pangsa pasar dengan terus menggenjot produksi minyaknya.

Peningkatan produksi ini jauh melebihi pertumbuhan konsumsi minyak dunia. Pertumbuhan moderat konsumsi dari konsumen utama seperti China, India dan Amerika Serikat. Alhasil, ada kelebihan produksi minyak dunia saat ini sekitar 2 juta barel per hari yang berdampak pada terus tertekannya harga minyak.

Moody’s menilai, rendahnya harga minyak akan semakin melemahkan arus kas perusahaan hulu migas di sektor eksplorasi dan produksi, termasuk perusahaan jasa pendukungnya. Mayoritas perusahaan pun tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai belanja modalnya. Selain itu, kondisi saat ini mengurangi nilai aset yang bisa dijual oleh perusahaan untuk memperkuat kas internal. “Sedangkan upaya perusahaan mencari pendanaan dari pasar surat utang dan saham semakin sulit karena biayanya lebih mahal,” kata Halan dalam siaran pers Moody’s.

Karena itulah, Moody’s juga tengah mengkaji penurunan peringkat 120 perusahaan migas di seluruh dunia. Mulai dari perusahaan raksasa migas di Eropa seperti Royal Dutch Shell Plc, Total SA dan BP Plc, hingga perusahaan sekelas Statoil ASA, Eni SpA dan perusahaan jasa pengeboran Schlumberger Ltd. “Kemungkinan kesimpulan pengkajiannya pada akhir kuartal pertama 2016, yang dapat mencakup penurunan peringkat beberapa derajad untuk sejumlah perusahaan,” kata Moody’s.

Halaman:
Reporter: Yura Syahrul, Arnold Sirait
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...