Pungutan Dana Ketahanan Energi Bisa Dianggap Ilegal
KATADATA - Rencana pemerintah untuk mulai memungut dana ketahanan energi dari setiap liter bahan bakar minyak (BBM) yang dibeli masyarakat tahun depan, menuai banyak kritikan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah menunda penerapan rencana tersebut, karena dasar hukumnya belum jelas.
“Kami (DPR RI) minta pemerintah untuk mengkaji ulang dan baru diterapkan begitu payung hukum sudah ada,” ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha saat dihubungi Katadata, Senin (28/12).
Pemerintah telah memutuskan untuk mulai memungut dana ketahanan energi sebesar Rp 200 per liter Premium dan Rp 300 per liter untuk Solar. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said beralasan dana ketahanan energi sudah sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang kebijakan energi nasional. (Baca: Kumpulkan Dana Energi, Penurunan Premium Cuma Rp 150)
“Dana ini dapat digunakan untuk mendorong eksplorasi agar depletion rate (tingkat pengurasan) cadangan migas kita bisa ditekan,” ujar Sudirman. Dana ini juga akan digunakan untuk membangun infrastruktur cadangan strategis dan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).
Satya mengakui konsep dana ketahanan energi memang sudah disinggung dalam UU 30/2007 dan PP 79/2014. Masalah utamanya adalah mengenai mekanisme pemungutan dananya. “UU energi kan tidak berisi pemungutan dana kepada masyarakat. UU energi mensyaratkan dana itu bisa diambil dari fosil fuel, dari hasil minyak dan gas. Bukan dari masyarakat,” ujar Satya.
Setidaknya pemerintah harus terlebih dahulu mensosialisasikannya kepada masyarakat, kemudian membuat payung hukumnya. Mengenai payung hukum ini, lebih mudah diajukan melalui perubahan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun depan. Pemerintah bisa langsung memungut dana tersebut tanpa membuat PP atau aturan teknis lainnya, jika sudah diputuskan dalam APBN-P. (Baca: Mulai Bahas RUU Migas, DPR Baru Sepakat soal Petroleum Fund)
Sudirman mengatakan pemerintah juga berencana mengusulkan hal ini melalui mekanisme APBN-P kepada DPR. Masalahnya, konsultasi kepada Komisi VII DPR dalam pembahasan APBN-P 2016, baru akan dilakukan bulan depan. Padahal, pemerintah sudah menetapkan harga baru BBM beserta pungutan dana ketahanan energi ini mulai diberlakukan pada 5 Januari 2016. Satya menilai jika payung hukumnya belum jelas, maka pemerintah akan menjalankan kebijakan tersebut secara ilegal.
Dewan Penasehat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto juga sependapat dengan Satya. Dia mengatakan belum ada aturan yang secara jelas mengatur soal pengelolaan dan penggunaan dana ketahanan energi dan bagaimana mekanisme pertanggungjawabannya. "Berlakukan saja BBM sesuai dengan harga keekonomiannya dulu, tanpa ada embel-embel komponen lainnya yang belum diatur dalam peraturan perundangan yang ada," ujarnya Pri. (Baca: Pemerintah Siapkan Rp 15 Triliun untuk Ketahanan Energi)