Janji Kampanye Anies & Dampak Lingkungan di Balik Izin Reklamasi Ancol

Image title
2 Juli 2020, 17:14
Ilustrasi reklamasi. Keputusan Anies Baswedan mengizinkan reklamasi Dufan dan Ancol bertentangan dengan janji kampanyenya di Pilgub DKI 2017 dan berpotensi merusak lingkungan.
Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi reklamasi. Keputusan Anies Baswedan mengizinkan reklamasi Dufan dan Ancol bertentangan dengan janji kampanyenya di Pilgub DKI 2017 dan berpotensi merusak lingkungan.

Selain itu, Susan menilai Kepgub tersebut cacat secara hukum karena berdasarkan kepada tiga undang-undang yang sengaja dipilih untuk memuluskan kepentingan reklamasi. Pertama adalah UU No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI. Kedua, UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dan, ketiga UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Padahal, kata Susan, UU No. 27 tahun 2007 juncto UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil lebih pas untuk menjadi dasar Kepgub tersebut. “Kenapa UU tersebut tidak dijadikan dasar oleh Anies?” tanyanya, seperti dilansir Mongabay.

Merusak Lingkungan

Tak hanya itu, Susan menilai penerbitan izin reklamasi Ancol dan Dufan juga berpotensi merusak lingkungan. Khususnya kawasan perairan pesisir di sekitar Ancol. Hal ini karena kegiatan pengambilan material pasir untuk bahan pengurukan lahan reklamasi.

“Ekosistem perairan semakin hancur, ekosistem darat akan mengalami hal serupa. Ini salah satu bahaya reklamasi,” kata Susan.

Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja pun berpendapat sama. Potensi kerusakan lingkungan menurutnya karena sedimen yang menjadi bahan lahan reklamasi ini berasal dari sedimen kerukan 13 sungai DKI Jakarta dalam proyek normalisasi dan JEDI/JUFMP. Sementara, menurutnya, akibat pengerukan itu sungai-sungai di Ibu Kota telah tercemar.

“Jadi sekarang kita memindahkan pencemaran dari sungai ke laut tanpa ada kejelasan bagaimana mekanisme pengolahan lahan tersebut,” kata Elisa kepada Katadata.co.id, Kamis (2/7).

(Baca: Pengaturan Reklamasi di Perpres Tata Ruang Dinilai Tabrakan dengan UU)

Elisa menjelaskan, penilaiannya ini karena reklamasi Ancol berhubungan dengan normalisasi sungai dan JEDI/JUFMP atau Jakarta Emergency Dredging Initiative yang mulai berjalan pada 2007 lalu. Tempat pengumpulan lumpur hasil kerukan sungai adalah di lahan yang kini akan direklamasi di Ancol.

“Bagaimana kalau akhirnya polutannya terlepas atau konstruksinya tidak baik, atau ada likuifaksi karena aslinaya adalah sedimen sungai?” tanya Elisa.

Maka, kata Elisa, apabila Anies tetap ingin memberi izin sebaiknya untuk 20 hektar lahan yang terlanjur direklamasi sejak 2012 sampai hari ini. Bukan menambah lahan berkali lipat seperti tertuang dalam Kepgub. “Sambil memikirkan cara yang lebih lestari untuk mengolah sedimentasi tersebut atau pengolahan daerah aliras sungai (DAS) yang lebih lestasi,” ujarnya.

Elisa pun meminta Anies merevisi Kepgub yang telah diterbitkan dan memperjelas proses dekontaminasi limbah sedimen tersebut. “Reklamasinya enggak penting untuk penataan Kota Jakarta,” ujarnya.

Perihal polemik ini, Anies masih belum mau berkomentar. Saat ditemui wartawan di Balai Kota pada Selasa (30/6) lalu, ia hanya berkata “nanti dijelasinnya lengkap sekalian, jangan doorstop.”

 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...