Politik Dinasti Elite Istana di Pilkada 2020 & Akibatnya ke Demokrasi
Pilkada 2020 akan menjadi ajang keluarga para elite politik di lingkaran Istana mencari kuasa. Keluarga Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Wapres Ma’ruf Amin dan beberapa menteri tercatat turut serta dalam gelaran politik lima tahunan ini. Pengamat politik pun menilainya sebagai bentuk politik dinasti yang kontraproduktif bagi iklim demokrasi Indonesia.
Dari keluarga Jokowi, ada putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka dan menantunya Bobby Nasution. Gibran akan melaju sebagai cawalkot Solo. Ia mendapat rekomendasi dari PDIP pada 17 Juli lalu dan berdampingan dengan Teguh Prakosa. Rekomendasi ini disampaikan langsung oleh Ketua DPP PDIP Puan Maharani secara daring.
Bobby akan melaju di Pilwalkot Medan. Tak seperti Gibran yang telah pasti, ia masih belum mendapatkan rekomendasi dari partai manapun. Meskipun begitu, peluangnya mendapat rekomendasi dari PDIP sangat besar. Hal ini setelah kandidat petahana Akhyar Nasution yang juga kader PDIP justru akan melaju dari Partai Demokrat.
Keluarga Wapres Ma’ruf Amin adalah putri keempatnya, Siti Nur Azizah yang akan melaju sebagai cawalkot Tangerang Selatan. Azizah akan berpasangan dengan Ruhamaben. Pasangan ini diusung Partai Demokrat dan PKS yang telah memberikan rekomendasi pada 21 Juli lalu.
Keluarga menteri yang akan turun gelanggang di Pilkada 2020 adalah Saraswati Djojohadikusumo, Irman Yasin Limpo, Hanindito Himawan Pramono, dan Titik Mas’udah. Saraswati atau karib disapa Sarah adalah keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Ia akan melaju sebagai calon wakil wali kota Tangerang Selatan mendampingi Muhammad dari Gerindra dan PDIP.
Irman adalah adik dari Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Pria yang karib disapa None ini mendapat rekomendasi dari Partai Golkar dan PAN pada 30 Juni lalu sebagai cawalkot Makassar. Dengan dukungan dua partai ini, ia telah mengantongi 10 kursi di DPRD Makassar dan memenuhi syarat KPU. Namun, sampai saat ini ia belum menentukan pendampingnya.
Lalu, Hanindito adalah anak kandung dari Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Ia mendapat rekomendasi dari PDIP pada 17 Juli lalu sebagai calon bupati Kediri berdampingan dengan Dewi Maria Ulfa. Partai lain yang mengusung pasangan ini adalah Nasdem, PKB, dan PAN. Dengan dukungan empat partai, ia telah memenuhi syarat dari KPU.
Sementara, Titik adalah adik kandung dari Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Ia akan maju sebagai calon wakil bupati Mojokerto berdampingan dengan kandidat petahana Pungkasiadi. Partai yang telah mendukung pasangan ini adalah PDIP. Namun, pada 20 Juli lalu PKB melalui Wakil Ketua Umum Bidang Pemenangan Pemilu Jazilul Fawaid telah memberi sinyal akan turut mendukung pasangan ini.
Politik Dinasti
Pengamat Politik UIN Jakarta, Adi Prayitno menilai hubungan kekeluargaan para kandidat tersebut dengan sejumlah elite di lingkaran Istana merupakan bentuk politik dinasti. Ia mendefinisikan politik dinasti sebagai upaya mengarahkan regenerasi kekuasaan oleh kelompok elite tertentu kepada keluarga intinya.
“Kalau dilihat semuanya adalah keluarga inti, anak presiden, wapres, adik menteri, dan lainnya,” kata Adi kepada Katadata.co.id, Senin (27/7).
Upaya regenerasi, kata Adi, terlihat dari partai politik pengusung para kandidat tersebut yang memiliki kedekatan dengan keluarganya. Seperti terlihat dari PDIP dan Gerindra. PDIP yang mengusung Gibran dan Hanindito, adalah partai Jokowi dan Pramono juga. Gerindra yang mengusung Sarah, ketua umumnya adalah Prabowo.
Ditilik lebih lanjut, partai lain juga demikian. Golkar yang mengusung Irman adalah tempat Syahrul Yasin Limpo awal berkarier politik sebelum pindah ke Nasdem. PKB yang telah memberi sinyal mengusung Titik, adalah partai Ida Fauziyah.
Adi menyatakan, politik dinasti bisa terus terjadi lantaran tidak ada satupun regulasi yang melarangnya. Sehingga para elite politik bisa dengan bebas mewariskan kekuasaannya kepada keluarga intinya tanpa ada konsekuensi hukum. Satu-satunya yang menjadi benturan mereka adalah etika politik, tapi hal ini mudah dikesampingkan demi kekuasaan.
“Dulu ada peraturannya yang membatasi hubungan darah dengan petahana di Pilkada, tapi malah dibatalkan MK. Padahal peraturan itu juga belum kuat untuk politik dinasti yang lebih luas,” kata Adi.
Peraturan yang dimaksud Adi adalah Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Di situ dikatakan syarat menjadi calon kepala daerah tak memiliki kepentingan dengan petahana. Dalam penjelasannya, konflik kepentingan tersebut termasuk memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, dan atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 34/PUU-XII/2015 membatalkan pasal tersebut. Alasannya, konflik kepentingan dengan petahana hanya menggunakan pertimbangan politis dan asumtif. MK menilai setiap kandidat di Pilkada yang memiliki hubungan dengan petahana belum tentu akan melakukan politik dinasti.
Kontraproduktif Untuk Demokrasi
Praktik politik dinasti dalam Pilkada 2020, kata Adi, kontraproduktif untuk demokrasi. Alasannya, bisa membatasi partisipasi masyarakat secara luas untuk terlibat dalam kepemimpinan politik di negeri ini. Padahal, salah satu tujuan sistem demokrasi adalah memberi peluang politik sama kepada seluruh masyarakat. Salah satu indikasinya adalah fenomena calon tunggal di daerah dengan politik dinasti kuat.
Pada 2018, tiga dari empat daerah di Provinsi Banten menyelenggarakan Pilkada dengan calon tunggal, yakni Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Lebak. Penyebabnya adalah politik dinasti para petahanananya yang kuat dan membuat partai politik enggan melabuhkan dukungan ke kandidat lainnya.
Dalam Pilkada 2020 ini, kata Adi, fenomena tersebut pun kemungkinan berulang. Gibran adalah salah satu yang menurutnya sudah terlihat akan melawan kotak kosong. Hanya tersisa PKS yang belum melabuhkan dukungan kepadanya, sementara jumlah kursi di DPRD yang dimiliki partai hanya lima dan tak mungkin mengusung kandidat sendiri.
“Bisa membuat juga masyarakat tidak punya alternatif lain, sehingga peluang pemimpin buruk terpilih lebih besar,” kata Adi.
Pendapat Adi selaras dengan Robert A Dahl dalam bukunya berjudul Dilemma of Pluralist Democracy: Autonomy vs Control. Robert menyebut ada tujuh kriteria demokrasi yang terkonsolidasi. Salah duanya adalah hak setiap warga negara yang dewasa untuk maju dalam pemilu dan hak untuk mendapatkan informasi alternatif dengan dilindungi hukum.
Sementara itu, Marcus Mietzner dalam artikelnya yang berjudul Indonesia’s 2009 Elections: Populism, Dynasties and the Consolidation of the Party System menilai praktik politik dinasti di Indonesia tidak sehat bagi demokrasi lantaran bisa menyebabkan kontrol terhadap pemerintah melemah. Sehingga, peluang terjadinya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan kekuasaan besar.
Ramai-Ramai Membantah Politik Dinasti
Terkait hal ini Sarah Djojohadikusumo menyatakan secara tegas, “tidak ada pemikiran soal bentuk politik kekuasaan elite” dalam proses pemilihannya sebagai calon wakil wali kota Tangerang Selatan. Ia pun menilai pandangan pengamat politik “lucu karena sejauh yang saya ketahui yang dipertimbangkan hanya sejauh mana yang kapabel dan punya daya tarik untuk Kota Tangerang Selatan.”
Di Pilkada mendatang, Sarah pun menyatakan akan fokus kepada isu perempuan, anak, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup. Namun, ia mengaku masih mematangkan visi-misi yang akan menjadi bahan kampanyenya nanti bersama pendampingnya.
“Tapi intinya Tangsel untuk semua dan pemerintahan tangsel yang tangguh selalu,” kata Sarah kepada Katadata.co.id, Senin (27/7).
Gibran pun menyatakan sikap sama. Ia menilai keikutsertaannya dalam Pilkada 2020 adalah sebuah kontestasi, bukan sebuah penunjukan dan tak ada kewajiban masyarakat memilihnya. Sehingga peluangnya tetap sama dengan kandidat lainnya.
“Jadi kalau yang namanya dinasti politik, di mananya?”, katanya dalam sebuah diskusi daring di Jakarta, Jumat (24/7).
Sementara, Hanindito tak mau ambil pusing dengan tudingan politik dinasti yang menyasarnya. Hal ini karena menurutnya pandangan publik akan tetap buruk kepadanya, baik ketika menang maupun kalah. “Jadi kalau kaitan dengan politik dinasti, saya sudah kebal karena dari lahir sudah terbiasa sifatnya seperti itu,” katanya, Jumat (24/7).