UU Cipta Kerja Atur Pesangon Libatkan Negara, Bagaimana Bagi Porsinya?

Rizky Alika
6 Oktober 2020, 20:28
Sejumlah pekerja melakukan aksi teatrikal di Kawasan MM 2100, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Selasa (6/10/2020). Aksi mogok kerja tersebut akibat pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR dan Pemerintah RI.
Adi Maulana Ibrahim |Katadata
Sejumlah pekerja melakukan aksi teatrikal di Kawasan MM 2100, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Selasa (6/10/2020). Aksi mogok kerja tersebut akibat pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR dan Pemerintah RI.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Undang-undang atau UU Cipta Kerja pada Senin, 5 Oktober 2020. Omnibus law ini mengatur berbagai hal yang terangkum dalam 186 pasal 15 bab.

Salah satu yang paling mendapat sorotan adalah mengenai hak pesangon bagi pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja atau PHK. Berdasarkan undang-undang yang baru, besaran pesangon diberikan paling banyak 25 kali upah.

Skema pembayaran pesangon itu, 19 kali gaji oleh perusahaan dan 6 kali oleh pemerintah melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). “Peserta Jaminan Kehilangan Pekerjaan adalah setiap orang yang telah membayar iuran,” demikian dikutip dari pasal 82 yang mengatur mengenai Jenis Program Jaminan Sosial.

Kemudian, pada bagian lain disebutkan, modal awal Jaminan Kehilangan Pekerjaan ditetapkan paling sedikit Rp 6 triliun dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

Dengan adanya Jaminan Kehilangan Pekerjaan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, buruh/pekerja yang mengalami PHK akan tetap terlindungi sambil mencari pekerjaan baru.

"Ini Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang berikan manfaat cash benefit dan pelatihan upskilling atau reskilling, serta akses informasi pasar tenaga kerja," ujar dia dalam rapat paripurna di DPR, Senin (6/10).

Untuk diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya berlaku, besaran pesangon untuk korban PHK maksimal 32 kali gaji sesuai masa kerja. Sebelum ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan, seluruh pesangon ditanggung oleh pengusaha.

Mereka pun menyambut disahkannya UU Cipta Kerja. Salah satu alasannya, dampak ekonomi dari pandemi Covid-19. “Kejadian pandemi Covid-19 memberikan dampak kontraksi perekonomian dan dunia usaha yang sangat signifikan,” kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani.

AKSI TOLAK OMNIBUS LAW RUU CIPTA KERJA
AKSI TOLAK OMNIBUS LAW RUU CIPTA KERJA (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.)

Dari Paling Sedikit menjadi Paling Banyak

Selain nominalnya berkurang, ada perbedaan diksi yang mendasar dalam ketentuan menyangkut pesangon dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja.

Dalam UU Ketenagakerjaan pasal 156 ayat 1 disebutkan, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 “paling sedikit” sebagai berikut: masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah; masa kerja 1-2 tahun, 2 bulan upah; dan seterusnya sampai masa kerja di atas 8 tahun mendapat pesangon setara 9 bulan upah.

Sedangkan, pasal 156 ayat 2 UU Cipta Kerja dinyatakan, Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (jika terjadi PHK) diberikan “paling banyak” sesuai ketentuan sebagai berikut: masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah; masa kerja 1-2 tahun, 2 bulan upah; dan seterusnya sampai masa kerja di atas 8 tahun mendapat pesangon setara 9 bulan upah.

Selain pesangon, buruh juga berhak mendapatkan uang penghargaan masa kerja jika terjadi PHK. Kemudian, ada juga uang penggantian hak cuti yang belum digunakan dan hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja.

Lima Pasal Hilang

Selain berkurangnya besaran uang yang akan diterima buruh saat terjadi PHK, UU Cipta Kerja juga menghilangkan beberapa ketentuan soal pesangon yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

“Undang-undang ini memberikan kekuatan kepada pengusaha untuk menghilangkan sejumlah pesangon yang sebelumnya wajib," kata Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat.

Mirah mencatat ada lima ketentuan di RUU Ciptaker yang menghapus pasal pemberian pesangon yang sebelumnya ada di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pertama, pasal 51 UU Cipta Kerja menghapus ketentuan pasal 162 UU Ketenagakerjaan mengenai penggantian uang pesangon bagi pekerja yang mengundurkan diri. Syaratnya, pekerja mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis 30 hari sebelum keluar dari posisinya, tidak terikat dalam ikatan dinas, dan tetap melaksanakan kewajibannya.

Dalam pasal 162 ayat 1 UU Ketenagakerjaan disebutkan pekerja atau buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri tetap berhak memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 UU Ketenagakerjaan.

Kedua, Pasal 52 UU Cipta Kerja menghapus Pasal 163 di UU Ketenagakerjaan yang mengatur pemberian uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak apabila terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan.

Ketiga, Pasal 53 UU Cipta Kerja menghapus Pasal 164 UU Ketenagakerjaan mengenai pemberian uang pesangon apabila perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun atau keadaan memaksa (force majeur).

Pada aturan lama, PHK dapat dilakukan hanya karena perusahaan tutup dan pekerja berhak atas pesangon.

Keempat, Pasal 54 UU Cipta Kerja menghapus Pasal 165 UU Ketenagakerjaan mengenai pemberian uang pesangon jika perusahaan pailit. Menurut aturan sebelumnya, PHK bisa dilakukan jika perusahaan pailit tapi harus tetap memberi pesangon.

Kelima, pasal 55 UU Cipta Kerja menghapus pasal 166 UU Ketenagakerjaan mengenai pemberian pesangon bila buruh meninggal dunia. Pesangon seharusnya tetap diberikan kepada ahli waris berhak mendapatkan sejumlah uang yang terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah  menyadari bahwa terdapat pro dan kontra terkait omnibus law UU Cipta Kerja. Hal itu dinilainya wajar dalam demokrasi.

Dialog dengan buruh terkait pembahasan RUU Cipta Kerja telah dilakukan sejak awal 2020 baik secara formal melalui lembaga tripartit, maupun secara informal. Menurutnya, banyak aspirasi buruh yang diakomodir dalam UU Cipta Kerja. Di antaranya, soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PWKT), outsourcing, hingga syarat PHK. Namun, “Jika teman-teman ingin 100% diakomodir, itu tidak mungkin,” kata Ida.

Reporter: Rizky Alika
Editor: Pingit Aria

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...