Kontroversi Status Pegawai KPK, Ini Dalih Penyelamatan oleh Komisioner
Sebanyak 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diberhentikan dari tugasnya. Mereka dinilai tidak berhasil melewati tes wawasan kebangsaan, sebuah prosedur yang memicu kontroversi. Sejumlah kalangan, seperti para aktivis anti korupsi, menuding hal ini sebagai upaya melemahkan KPK. Lantas apa tanggapan pimpinan lembaga antirasuah tersebut?
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan para pimpinan telah berupaya menyelamatkan pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). “Kami review bersama, setidak-tidaknya untuk mengatrol supaya (yang tak lolos) tidak 75 orang,” kata Ghufron di kantornya, Jakarta, Kamis (27/5).
Menurut dia, para komisioner memperjuangkan agar 75 pegawai tersebut menjadi aparatur sipil negara (ASN). Hal ini dilakukan saat KPK berkoordinasi dengan para asesor, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Kepegawaian Negara, Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Lembaga Administrasi Negara.
Namun, kata Ghufron, ada beberapa pegawai yang berlabel merah saat hasil tes dibuka. Selebihnya, beberapa pegawai lain masuk kategori kuning dan hijau. Untuk pegawai di posisi kuning dan hijau masih bisa diselamatkan menjadi ASN, dengan syarat melalui pembinaan. Selain itu, ada satu pegawai pada label merah yang turut diangkat menjadi ASN.
Di luar itu, 51 pegawai pada kategori merah serta tidak bisa diperjuangkan kembali. “Jadi 24 pegawai bisa dibina,” ujar dia.
Pimpinan KPK akan menggandeng Kementerian Pertahanan untuk membina negara dan wawasan kebangsaan pada pegawai tersebut. Ia mengatakan, KPK memahami putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang dibacakan pada 4 Mei lalu. Selain itu, pimpinan juga mempertimbangkan arahan Presiden Joko Widodo yang meminta hasil TWK tidak serta merta menjadi dasar pemberhentian pegawai.
Ghufron menambahkan, pihaknya tidak serta-merta menjadikan hasil TWK sebagai satu-satunya dasar untuk memberhentikan pegawai. “Kami review ulang indikator-indikator yang jadi dasar pegawai KPK tidak memenuhi syarat,” ujar dia.
TWK, Ghufron melanjutkan, merupakan mekanisme asesmen pegawai yang legal dan sah. Tes itu digelar untuk membuktikan para pegawai setia terhadap Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintahan yang sah.
Sebelumnya, Wadah Pegawai (WP) KPK menilai pimpinan lembaganya tidak mematuhi perintah Jokowi dengan tetap memberhentikan dan mendidik kembali pegawai yang tak lolos TWK tanpa ada jaminan. Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap mengatakan pimpinan KPK dan BKN melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak mengindahkan jaminan konstitutional Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang diperkuat dengan Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang menegaskan bahwa proses transisi tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN.
WP KPK mempertanyakan alasan Ketua KPK yang dinilai sangat ingin memberhentikan pegawai KPK dengan alat ukur yang belum jelas. Bahkan proses penilaian ini juga dianggap mengandung tindakan pelecehan martabat perempuan, dalam materi tesnya.
“Sikap Pimpinan KPK dan Kepala BKN adalah bentuk konkret dari sikap tidak setia terhadap pemerintahan yang sah,” ujarnya dalam keterangan yang diterima Katadata.co.id, Selasa (25/5). “Maka perlu ada supervisi dari presiden menindaklanjuti perkara alih status pegawai KPK.”
Mengenai kisruh ini, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk menolak pemberhentian pegawai KPK pada pekan depan. “MAKI akan mengajukan uji materi ke MK dengan maksud menjadikan Pertimbangan Putusan MK lebih kuat dan mengikat dengan menjadikan amar Putusan Mahkamah Konsitusi,” kata Boyamin dalam keterangan yang diterima Katadata.co.id, Kamis (27/5).
Sebelumnya, dalam pertimbangan putusan uji formil dan materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Mahkamah menyatakan proses peralihan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara ASN tidak boleh merugikan pegawai komisi antirasuah itu. Karena itu, Boyamin menilai langkah pimpinan KPK berlawanan dengan pertimbangan putusan Mahkamah.