Wakil Ketua MPR Soroti Potensi Masalah dari Putusan UU Cipta Kerja MK
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat formil dan perlu direvisi. Meski demikian Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arsul Sani mengatakan putusan tersebut bisa menimbulkan masalah baru.
Arsul mengatakan potensi masalah bisa muncul ketika UU Cipta Kerja diperbaiki namun tetap tak memuaskan elemen masyarakat dari sisi materiil. Menurut Arsul, MK seharusnya memutuskan uji formil maupun uji materiil dalam waktu yang sama.
"Menurut saya MK memutuskannya itu sekaligus baik uji formil maupun uji materialnya Jangan sendiri-sendiri, sehingga pembentuk undang-undang kalaupun harus memperbaiki atau bahkan harus mengganti undang-undang itu, satu kali kerjaan," ujar Arsul dalam diskusi di Kompleks Parlemen pada Senin (29/11).
Lebih lanjut, Arsul mempertanyakan sampai sejauh mana kewenangan hakim konstitusi dalam menguji UU yang berlaku. Dia mengatakan hingga saat ini belum jelas apakah kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah uji materiil, uji formil atau bahkan keduanya.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengatakan MK adalah produk dari Amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ketiga pada tahun 2001 yang dilakukan MPR. Atas dasar ini Arsul mempertanyakan sejauh mana kewenangan yang dimiliki oleh MK.
"Ini harus kita kritisi. Jadi jangan karena putusannya itu baik memenuhi harapan publik, kemudian dari sistem dan struktur ketatanegaraan kita itu agak melenceng atau ada keluar," ujar Arsul.
Sebelumnya, MK menyebut UU Cipta Kerja cacat formil karena tidak sesuai dengan tata cara pembentukan undang-undang. Dalam amar putusannya, Majelis Hakim MK mengacu pada UU PPP yang secara garis besar mengatur prosedur pembentukan UU dalam lima tahapan; pengajuan rancangan, pembahasan bersama DPR dan pemerintah, persetujuan bersama, pengesahan, dan pengundangan.
Salah satu dalil pemohon yang dipertimbangkan MK terkait dengan ketidakjelasan apakah UU Cipta Kerja berupa UU baru, UU Perubahan, atau UU pencabutan. Majelis Hakim menyebut substansi terbesar dalam UU Cipta Kerja merupakan perubahan terhadap sejumlah undang-undang. Setidaknya ada 77 undang-undang perubahan dan 1 UU pencabutan yang termaktub dalam UU tersebut.
Jika Mengacu pada UU No. 12 tahun 2011, baik UU perubahan maupun UU pencabutan tidak harus disertai kata ‘perubahan’ dan ‘pencabutan’. Inilah yang tidak ada di judul UU Cipta Kerja sehingga dianggap tidak memenuhi standar baku.
“UU 11/2020 tidaklah sejalan dengan rumusan baku atau standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan karena hal demikian sesungguhnya menunjukkan norma yang dibentuk tersebut seolah-olah sebagai undang-undang baru,” tulis Majelis Hakim dalam putusannya.