Sejarawan Kritik Nama Ibu Kota Baru, Bisa Mereduksi Makna Nusantara
Ia menduga pemilihan nama Nusantara untuk menghindari istilah yang hanya fokus pada satu suku tertentu. Sebab, hal ini bisa menimbulkan sentimen promordialisme.
Untuk itu, pemerintah mencari istilah netral yang bisa diterima oleh seluruh suku dan budaya yang berada di Indonesia. "Ibu kota kan milik nasional. Seharusnya bisa mencerminkan kepemilikan bersama itu," ujar dia.
Wawasan Nusantara sudah disepakati secara nasional sebagai cara pandang bangsa terhadap wilayahnya. Saat ini, dunia internasional sudah mengakui wawasan Nusantara yang diterjemahkan dalam Deklarasi Djuanda 1957 dengan istilah Archipelagic State.
"Nama ini terkesan archaic tetapi cukup berakar dalam sejarah dari masa kuno dan masih di-preserve hingga sekarang sebagai istilah yang netral," katanya.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan pemerintah menerima masukan dari para ahli sekitar 80 nama calon Ibu Kota Negara. Dia menyebut, Presiden Jokowi mengerucut memilih nama Nusantara.
“Saya baru mendapatkan konfirmasi dan perintah langsung dari Bapak Presiden itu pada Jumat lalu dan beliau mengatakan ibu kota negara ini namanya Nusantara,” kata Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam Rapat Pansus RUU IKN di Jakarta, Senin (17/1).
Sebelum memilih nama Nusantara, pemerintah memanggil ahli sejarah dan ahli bahasa untuk memberikan pengetahuan terkait nama-nama calon Ibu Kota Negara. Nama-nama yang diberikan seperti Negara Jaya, Nusantara Jaya, Nusa Karya, Nusa Jaya, Pertiwi Pura, Wana Pura, dan Cakrawala Pura.
Alasan Jokowi memilih nama Nusantara, kata Suharso, karena nama tersebut telah dikenal oleh masyarakat luas sejak dahulu, baik domestik maupun global, sehingga menjadi ikon bagi Indonesia.
Tak hanya itu, kata dia, pemilihan nama Nusantara juga karena mampu menggambarkan kenusantaraan atau keberagaman Republik Indonesia. "Nusantara mudah dibaca dan menggambarkan kenusantaraan Republik Indonesia," kata dia.