DPR Setujui Anggaran Rp 1,9 Triliun untuk Penanggulangan Teroris
Menurunnya jumlah peristiwa terorisme, menurut Marthinus karena adanya upaya pencegahan yang dilakukan Densus 88, dengan menangkap terduga terorisme yang sudah memiliki bukti kuat. Strategi ini juga berhasil menurunkan tingkat serangan yang dilakukan kelompok-kelompok teroris.
“Tapi tetap mengindikasikan terorisme masih ada,” ujar Marthinus.
Selain itu, upaya preventif juga dilakukan dengan menempatkan para pelaku tindak pidana terorisme sebagai korban yang perlu dibina, dengan mengubah pola pikir mereka. Jadi, para pelaku yang terpapar radikalisme hanya dari satu sumber, akan diintervensi dengan melibatkan tokoh-tokoh agama. Untuk itu, Densus 88 bekerja sama dengan beberapa organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
"Kami berupaya untuk lebih memanusiakan mereka. Tidak sekedar menghukum mereka, tapi mengubah mindset. Itu paradigma kami sekarang,” jelas Marthinus.
Meski menerapkan prinsip yang lebih manusiawi, Marthinus menegaskan, Densus 88 tidak akan melonggarkan pengawasan maupun penindakan terhadap paham radikal yang lekat dengan terorisme.
Sementara terkait jaringan terorisme yang mulai mengincar aparatur sipil negara (ASN) di kementerian atau lembaga negara, Marthinus meyakinkan bahwa Densus 88 akan menyiapkan alat khusus sebagai assesment untuk mengetahui tingkat radikalisme di kalangan ASN. Meski begitu, ia berharap kementerian dan lembaga juga turut membantu secara internal untuk mencegah paham radikalisme menyebar di kalangan ASN, dengan menekankan ideologi kepada dasar negara dan konstitusi.
“Aparat negara harus berdiri di atas Pancasila dan UUD 1945,” pungkasnya.