MK akan Putuskan 7 Perkara Uji Materi UU IKN, Berikut Gugatannya
Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) kini telah sah menjadi payung hukum pemindahan ibu kota dari Jakarta menuju Kalimantan Timur. Berisi 11 bab dan 44 pasal, proses pembahasannya menghabiskan waktu 43 hari, sejak dibahas mulai 7 Desember 2021.
Di tengah persiapan pembangunan IKN, beberapa pihak mengajukan gugatan ke Mahkamah Konsitusi, karena menganggap UU IKN bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Berdasarkan situs MK, terdapat sembilan perkara terpisah yang tengah berjalan. Dari jumlah tersebut, tujuh perkara di antaranya akan mendapatkan keputusan pada Selasa (31/5).
Para pemohon ini berasal dari berbagai kalangan, dari akademisi, guru, purnawirawan TNI, sopir, masyarakat adat, hingga mantan pejabat lembaga negara.
Perkara yang akan mendapatkan putusan adalah nomor 47/PUU-XX/2022 dengan pemohon Mulak Sihotang. Dia menguji Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (8), Pasal 5 ayat (4) UU IKN.
Mulak yang sehari-hari bekerja sebagai sopir angkot, merasa pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus IKN yang bersumber dari APBN dan sumber lain merugikan dirinya.
Selain itu, pemohon menilai beberapa prosedur dalam persiapan pembentukan UU IKN telah melanggar aturan, seperti UU Penataan Tata Ruang Nomor 7 Tahun 2007, Perda Nomor 10 Tahun 2004 tentang Rencana Induk Tata Ruang Provinsi Kalimantan Timur, dan Perda Nomor 12 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur.
Perkara lain yang akan diputuskan esok hari adalah nomor 48/PUU-XX/2022, dengan pemohon Damai Hari Lubis yang berprofesi sebagai advokat.
Dalam permohonannya, pemohon menilai UU IKN tidak disusun dengan perencanaan berkesinambungan. Sebab rencana perpindahan Ibu Kota Negara tidak pernah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019.
“Ibu Kota Negara mendadak muncul dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024,” ujar kuasa hukum pemohon, Arvid Martdwisaktyo, Selasa (19/4) seperti dikutip dari situs resmi MK.
Kemudian, pemohon juga mendalilkan, UU IKN tidak memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis. Karena Ibu Kota Negara merupakan materi yang disebutkan dalam UUD 1945, maka setiap kebijakan yang berkaitan dengan Ibu Kota Negara mestinya dirumuskan secara komprehensif dan holistik.
Selanjutnya, untuk perkara Nomor 49/PUU-XX/2022, Pemohon S.M. Phiodias Marthias menilai UU IKN akan mengganggu hak konstitusionalnya terkait empat tugas pokok dan fungsi Pemerintah sebagaimana tercantum pada Pembukaan (Preambule) UUD 1945. "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial".
Selanjutnya Nomor 53/PUU-XX/2022 yang diajukan seorang guru bernama Anah Mardianah.
Menurut Pemohon, representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangatlah parsial dan tidak holistik. Padahal IKN merupakan perwujudan bersama ibukota negara Republik Indonesia yang seharusnya dapat lebih memperluas partisipasi dan pihak-pihak dari berbagai daerah, golongan, dan unsur kepentingan masyarakat lainya dalam pembahasannya.
Perkara lainnya adalah Nomor 54/PUU-XX/2022, dengan pemohon Muhammad Busyro Muqoddas, Trisno Raharjo, Yati Dahlia, Dwi Putri Cahyawati, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara diwakili Rukka Simbolinggi, serta Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
Melalui kuasa hukumnya, Rukka menyampaikan bahwa pembentukan undang-undang IKN tidak menerapkan meaningful participation. Artinya tidak menyertakan partisipasi publik dalam pembentukan sebuah peraturan atau kebijakan.
Akibatnya, UU IKN menciptakan terdapat konflik teritorial terkait penguasaan dan
kepemilikan wilayah adat dengan berbagai investasi yang sudah ada, karena tidak memperhatikan keberadaan masyarakat adat di wilayah yang direncanakan akan menjadi IKN.
Selanjutnya, untuk Perkara Nomor 39/PUU-XX/2022 yang diajukan seorang pensiunan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Sugeng.
Sugeng menilai pembahasan UU IKN terlalu singkat karena kurang dari 40 hari UU tersebut sudah disahkan.
Sedangkan untuk alasan pengujian materiil, Sugeng berpendapat kondisi negara sedang mengalami pandemi Covid-19 membutuhkan banyak biaya dibandingkan kepentingan perpindahan ibu kota. Bukan hanya itu, Sugeng menambahkan, sebaiknya anggaran negara yang ada digunakan untuk membayar hutang pemerintah, bencana alam, pembaruan alutsista TNI, pendidikan, dan Pemilu.
Selain itu, Sugeng mengatakan perpindahan ibu kota negara ke Kalimantan akan beresiko merusak lingkungan hidup, rusaknya kehidupan fauna dan flora.
Terakhir, perkara Nomor 40/PUU-XX/2022 dengan pemohon Herifudin Daulay. Menurutnya perpindahan ibu kota merupakan pertaruhan yang tidak jelas, terhadap keuntungan signifikan yang akan diperoleh masyarakat dan negara. Herifudin menilai, UU IKN bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945. Menurut Pemohon, pendanaan besar untuk perpindahan Ibukota Negara sebaiknya digunakan untuk mencetak kader-kader handal bangsa di bidang pendidikan dan ekonomi.