RI-Norwegia Kolaborasi Turunkan Emisi GRK, Hutan Alam Harus Dilindungi

Tia Dwitiani Komalasari
14 September 2022, 08:34
Foto udara kawasan Hutan Lindung Gambut (HLG) Sungai Londerang (kiri) yang ditumbuhi tanaman akasia dan kawasan hutan konsesi PT Wirakarya Sakti (WKS) (kanan) di Muara Sabak Barat, Jambi, Selasa (19/4/2022).
ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/wsj.
Foto udara kawasan Hutan Lindung Gambut (HLG) Sungai Londerang (kiri) yang ditumbuhi tanaman akasia dan kawasan hutan konsesi PT Wirakarya Sakti (WKS) (kanan) di Muara Sabak Barat, Jambi, Selasa (19/4/2022).

Rencana operasional IFNET 2030 memfokuskan perlindungan hutan alam pada wilayah yang memiliki Indeks Prioritas Lokasi (IPL) dengan skala 7-9 atau hutan alam yang memiliki risiko deforestasi tinggi. Sementara dengan perlindungan hutan alam pada IPL 7-9 masih belum mencukupi untuk memenuhi target FOLU Net Sink menuju nol deforestasi, sehingga sangat dimungkinkan untuk melakukan perluasan aksi mitigasi pengurangan laju deforestasi pada risiko rendah-sedang.

”Dengan adanya komitmen Pemerintah Norway dalam mendukung implementasi kebijakan IFNET 2030 ini, seharusnya bisa menjadi salah satu faktor pengungkit untuk memperluas aksi mitigasi, yang tidak hanya berfokus pada wilayah-wilayah berhutan yang berisiko tinggi, melainkan juga wilayah-wilayah berhutan yang berisiko rendah hingga sedang,” tambah Yosi.

Dukungan dan kerja sama bilateral ini tentunya akan memperkuat berbagai komitmen dan aksi iklim yang ada saat ini di Indonesia. Selain pencanangan target ambisius dalam IFNET 2030, Yosi mengatakan, Madani melihat bahwa Indonesia telah berhasil melakukan rehabilitasi mangrove seluas 29.500 hektare di sembilan provinsi prioritas dan 3.500 hektare di 23 provinsi tambahan, berdasarkan data BRGM.

Ditambah, Indonesia juga berhasil merestorasi 835.000 hektare lahan gambut dari 2016 hingga 2020. Sementara untuk mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat, sudah ada sekitar 5,07 juta hektare kawasan hutan yang diperuntukkan bagi masyarakat adat dan lokal dalam program perhutanan sosial.

Perjanjian kerja sama antara Indonesia-Norwegia ini juga secara eksplisit menyebutkan penguatan partisipasi masyarakat dalam perlindungan hutan demi pengurangangan emisi GRK. Hal ini sejalan dengan upaya mengedepankan peran dan keterlibatan masyarakat dalam mendukung pembangunan berkelanjutan pada sektor hutan dan lahan.

“Masyarakat adat dan masyarakat lokal memiliki koneksi yang erat dengan alam yang menanamkan nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan untuk mewujudkan lingkungan hidup dan hutan yang lestari. Di samping itu, masyarakat sebagai katalisator pembangunan yang memegang peranan penting dalam pengelolaan sumber daya hutan, sehingga patut untuk didukung, utamanya dalam hal finansial,” kata Resni Soviyana, Program Officer Green Development Yayasan Madani Berkelanjutan.

 Indonesia menghasilkan emisi gas rumah kaca sekitar 1,86 miliar ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) pada tahun 2019. Data ini tercatat dalam Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2021. Sektor energi menjadi penyumbang terbesar.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...