Pengertian Kekerasan Seksual dan Ketentuan Hukumnya Di Indonesia
Kasus kekerasan seksual di Indonesia kian memprihatinkan, di mana laporan-laporan mengenai bentuk kriminalitas ini terus terkuak hampir tiap harinya.
Di Jakarta Barat misalnya, pada Juni 2022 dilaporkan seorang remaja putri disekap selama 1,5 tahun dan dipaksa menjadi pekerja seks komersial (PSK). Sementara di Jakarta Utara, empat anak diduga memperkosa temannya yang masih berusia 13 tahun.
Ini membuat kekerasan seksual masih menjadi topik yang terus disoroti, baik oleh pemerintah, maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Indonesia sendiri, telah berusaha memberantas kejahatan ini. Langkah terbaru, adalah pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS.
Apa sebenarnya kejahatan seksual tersebut, serta seperti apa perlakuan hukum di Indonesia untuk tindak kejahatan ini? Simak ulasan berikut ini.
Pengertian dan Bentuk Kekerasan Seksual
Mengutip kemdikbud.go.id, kekerasan seksual diartikan sebagai setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang.
Perbuatan yang dimaksud, timbul karena adanya ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender. Ini penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang, dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.
Yang dimaksud dengan ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, adalah sebuah keadaan di mana seseorang menyalahgunakan sumber daya pengetahuan, ekonomi dan/atau penerimaan masyarakat, atau status sosialnya untuk mengendalikan orang lain.
Sementara, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), kekerasan seksual didefinisikan sebagai segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa persetujuan.
Tindakan ini dilakukan dengan unsur paksaan atau ancaman. Termasuk dalam kekerasan seksual, adalah perdagangan perempuan dengan tujuan seksual, dan pemaksaan prostitusi.
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan sendiri membagi bentuk kekerasan seksual ke dalam 15 macam. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dimaksud, antara lain:
- Perkosaan.
- Intimidasi seksual, termasuk ancaman atau percobaan perkosaan.
- Pelecehan seksual.
- Eksploitasi seksual.
- Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual.
- Prostitusi paksa.
- Perbudakan seksual.
- Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung.
- Pemaksaan kehamilan.
- Pemaksaan aborsi.
- Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi.
- Penyiksaan seksual.
- Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual.
- Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan.
- Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Pihak Komnas Perempuan juga menyertakan catatan bahwa daftar tersebut bukanlah daftar final karena bentuk kekerasan seksual dapat terus muncul dan beragam.
Sedangkan, dalam UU TPKS, bentuk-bentuk kejahatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual, mencakup beberapa hal sebagai berikut:
- Pelecehan seksual non fisik
- Pelecehan seksual fisik
- Pemaksaan kontrasepsi
- Pemaksaan sterilisasi
- Pemaksaan perkawinan
- Penyiksaan seksual
- Eksploitasi seksual
- Perbudakan seksual
- Kekerasan seksual berbasis elektronik
Tak hanya itu, tindak pidana kekerasan seksual juga mencakup perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak.
Lalu, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, serta pemaksaan pelacuran.
Kemudian, meliputi juga tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga. Selain itu, tindak pidana pencucian uang yang berasal dari perbuatan-perbuatan yang memuat kekerasan seksual, juga dimasukkan dalam kategori tindak pidana kekerasan seksual.
Perlakuan Hukum Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual di Indonesia
Pemberantasan kekerasan seksual tentu saja tidak berhenti dengan pengidentifikasian kejahatan-kejahatan yang dimaksud. Melainkan, juga melalui langkah atau proses hukum yang konkret. Keluarnya UU TPKS merupakan senjata bagi pemerintah untuk memberantas tindak pidana ini.
Di mata hukum yang berlaku, pelaku tindak pidana kekerasan seksual akan diproses sesuai dengan hukum acara pidana. Pemrosesan ini, meliputi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang di pengadilan.
Indonesia juga mengatur secara khusus terkait pihak-pihak yang menjadi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara tindak pidana kekerasan seksual.
Secara umum, ada dua komponen yang patut menjadi perhatian dalam upaya pemberantasan tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia. Dua komponen yang dimaksud, antara lain adanya bukti, serta upaya melindungi hak korban, keluarga korban, dan saksi.
1. Alat Bukti dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Pengertian kekerasan seksual dan ketentuan hukumnya di Indonesia juga meliputi tentang alat bukti. Bahkan berkaitan dengan alat bukti, peraturan perundang-undangan Indonesia mengatur secara khusus agar proses penyelidikan, penyidikan, dan beracara di persidangan berjalan dengan lancar.
Ini termasuk alat bukti keterangan saksi yang dilakukan dalam tahap penyidikan dengan perekaman elektronik.
Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual yakni alat bukti sebagaimana yang dimaksud dalam hukum acara pidana, alat bukti lain yang berbentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Kemudian, barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana kekerasan seksual dan/atau barang yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut.
2. Hak Korban, Keluarga Korban dan Saksi
Menurut UU TPKS, hak korban, keluarga korban dan saksi juga dilindungi. Pertama, korban berhak atas adanya penanganan, perlindungan dan pemulihan sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Bagi penyandang disabilitas, korban berhak mendapat akses dan akomodasi yang layak untuk memenuhi haknya.
Selain itu, hak keluarga korban yakni adanya informasi tentang hak korban dan keluarga korban. Keluarga juga berhak mengetahui sejauh mana proses peradilan pidana sejak pelaporan hingga selesai masa pidana yang dijalani terpidana.
Keluarga korban juga berhak atas kerahasiaan identitas, keamanan pribadi yang bebas dari ancaman terkait kesaksian yang akan atau sedang atau telah diberikan.
Komponen hak ini, juga mencakup hak untuk tidak dituntut pidana dan digugat perdata berkaitan dengan kesaksian, hak asuh terhadap anak yang menjadi korban kecuali jika ditentukan lain menurut putusan pengadilan.
Selain itu, disebutkan pula adanya hak untuk mendapat penguatan psikologis, mendapat dokumen kependudukan dan dokumen lain yang dibutuhkan keluarga korban kekerasan seksual.