Mencuat dalam Kasus Pembunuhan Vina, Ini Arti Obstruction of Justice
Pengusutan kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita dan pacarnya, Muhammad Risky atau Eki, yang terjadi pada 2016 silam memasuki terus berlanjut. Pada Sabtu (22/6), Tim Pencari Fakta Independen melaporkan dugaan obstruction of justice ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia atau Bareskrim Polri.
"Kami dari TPF Independen yang diketuai Profesor Elza Syarief telah melaporkan pasal obstruction of justice, terkait dengan keterangan palsu dan dugaan identitas ganda," kata perwakilan TPF Independen Pitra Romadoni Nasution, dikutip dari Kompas TV.
Ia menjelaskan, laporannya telah diterima oleh Bareskrim Polri. Namun, Pitra enggan membeberkan pihak-pihak yang dilaporkan atas dugaan menghalangi upaya penegakan hukum atau obstruction of justice.
Berikut ini ulasan mengenai pengertian obstruction of justice, beserta unsur-unsur pembentuknya, dan konsekuensi dari perbuatan ini sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Pengertian Obstruction of Justice
Menurut Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji dalam buku berjudul 'Peradilan Bebas dan Contempt of Court', obstruction of justice adalah tindakan yang merujuk pada perilaku yang memberikan pengaruh atau efek memutarbalikkan proses hukum dan dapat mengacaukan fungsi yang seharusnya berlangsung.
Beberapa tindakan atau perbuatan yang dapat dikategorikan obstruction of justice, antara lain:
1. Menghancurkan atau Menyembunyikan Bukti
Menghancurkan atau menyembunyikan bukti dapat masuk dalam kategori perbuatan obstruction of justice. Sebab, tindakan ini secara langsung dapat menghambar proses penegakan hukum, serta proses peradilan.
Seperti diketahui, alat bukti adalah elemen kunci dalam pengungkapan kebenaran dalam sebuah kasus. Jika bukti dihancurkan atau disembunyikan, maka ini akan menghambar penyidik untuk mendapatkan gambaran terkait peristiwa yang terjadi.
Selain itu, menghancurkan atau menyembunyikan bukti dapat menyesatkan proses penyidikan, dan peradilan. Ini membuat keputusan yang diambil didasarkan atas informasi yang tidak sempurna.
2. Mengintimidasi atau Mengancam Saksi
Tindakan obstruction justice berikutnya, adalah mengintimidasi atau mengancam saksi. Ini dapat dikategorikan menghalangi upaya penegakan hukum, karena
Saksi adalah salah satu komponen penting dalam sistem peradilan, karena sebuah kesaksian juga mampu mengungkap fakta dan kebenaran dari suatu kasus. Tindakan intimidasi dan pengancaman, akan membuat seorang saksi takut untuk memberikan informasi atau kesaksian secara benar. Bahkan, tak jarang saksi urung memberikan kesaksiannya karena adanya intimidasi atau ancaman.
3. Menyuap
Menyuap dapat masuk kategori perbuatan obstruction of justice, karena dapat mengganggu, menghalangi, atau memanipulasi proses penegakan hukum.
Suap dapat ditujukan kepada penegak hukum, saksi, atau pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses penyidikan suatu kasus. Tindakan ini bertujuan mempengaruhi keputusan, untuk menghentikan penyelidikan, mengubah kesaksian, atau mempengaruhi putusan pengadilan.
4. Memberikan Kesaksian Palsu
Tindakan atau perbuatan lain yang dapat masuk kategori obstruction of justice, adalah memberikan kesaksian palsu. Tindakan ini secara langsung dapat merusak proses penegakan hukum.
Seperti diketahui, kesaksian yang diberikan di bawah sumpah memiliki peran penting dalam proses peradilan. Jika seseorang memberikan kesaksian palsu, maka tindakan ini dapat menyesatkan penyidik, jaksa, maupun pengadilan.
Ketika seorang saksi memberikan kesaksian palsu, mereka dengan sengaja mengaburkan fakta dan mengarahkan proses hukum ke arah yang salah. Hal ini dapat mengakibatkan tersangka yang bersalah lolos dari hukuman atau bahkan menghukum orang yang tidak bersalah.
Kesaksian palsu juga menghambat kemampuan penegak hukum untuk menjalankan tugas mereka dengan benar dan efisien, serta mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Sanksi Perbuatan Obstruction of Justice Menurut Hukum di Indonesia
Mengutip Hukum Online, di Indonesia tindakan obstruction of justice diatur dalam Pasal 221 dan 233 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, serta Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 221 KUHP mengatur hukum tentang suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang terbukti berupaya untuk menghalang-halangi suatu proses hukum. Pasal ini merinci sanksi, dan tindakan yang masuk dalam kategori menghalangi proses hukum.
Secara lengkap, berikut ini paparan terkait Pasal 221 ayat (1) KUHP tentang upaya menghalangi proses hukum atau obstruction of justice:
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
- Barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh penjahat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;
- Barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
Lalu, dalam Pasal 233 KUHP disebutkan:
"Barang siapa dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus-menerus atau untuk sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun."
Pada buku 'Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal', R. Soesilo menjelaskan ada tiga macam bentuk kejahatan yang masuk dalam kategori Pasal 233 KUHP, antara lain:
- Sengaja menghancurkan dan sebagainya barang yang digunakan untuk meyakinkan atau menjadi bukti bagi kuasa yang berhak (bukti bagi hakim perdata dan hakim pidana).
- Sengaja menghancurkan dan sebagainya surat akta, surat keterangan atau daftar yang selalu atau sementara disimpan menurut perintah kekuasaan umum (akta dan daftar yang atas perintah hakim disimpan oleh pegawai atau notaris untuk bukti).
- Sengaja menghancurkan dan sebagainya surat akta, surat keterangan atau daftar yang diserahkan kepada seorang pegawai maupun kepada orang lain untuk keperluan jabatan umum (misalnya akta dan daftar yang diserahkan pada polisi, jaksa, hakim atau orang lain guna bukti).
Adapun, tindakan obstruction of justice juga berlaku pada aparat penegak hukum, terutama Kepolisian. Ini tertera Pasal 10 Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia atau KEPP.
Pasal tersebut secara tegas menyebutkan bahwa setiap pejabat Polri dalam etika kelembagaan, dilarang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan/atau standar operasional prosedur, antara lain dalam bentuk menyalahgunakan kewenangan dalam melaksanakan tugas kedinasan dan melakukan permufakatan pelanggaran KEPP atau disiplin atau tindak pidana.
Demikianlah ulasan mengenai obstruction of justice, terkait pengertian serta sanksi yang diterapkan berdasarkan KUHP. Secara umum, terdapat tiga unsur perbuatan yang dijatuhi pidana terkait upaya menghalangi penegakan hukum, antara lain tindakan yang menyebabkan tertundanya proses hukum, pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya, dan pelaku melakukan atau mencoba tindakan menyimpang dengan tujuan mengganggu proses hukum.
Oleh karena itu, tidak semua tindakan obstruction of justice dapat dipidanakan, karena pelakunya harus mengetahui bahwa tindakannya menghalangi proses hukum. Jika pelaku tidak mengetahui, maka orang tersebut tidak dapat dijatuhi sanksi pidana.
Misalnya, jika seseorang membantu orang lain melarikan diri, tetapi tidak mengetahui orang yang dibantu telah melakukan tindak pidana. Maka, orang yang menolong tidak dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 221 KUHP, meski pada dasarnya ia melakukan obstruction of justice.