Akademisi Australia Sebut Jokowi Presiden Terkuat Usai Soeharto, Ini Alasannya

Muhamad Fajar Riyandanu
13 September 2024, 21:54
jokowi, soeharto, australia
ANTARA FOTO/Rizal Hanafi/nym.
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan saat peresmian Rumah Sakit Kemenkes Surabaya, Jawa Timur, Jumat (6/9/2024).
Button AI Summarize

Joko Widodo atau Jokowi dianggap sebagai presiden terkuat di Indonesia sejak era Soeharto dalam sejarah Tanah Air. Kesimpulan ini disampaikan oleh Marcus Mietzner, Profesor di Departemen Perubahan Politik dan Sosial, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University (ANU), Canberra.

Marcus mengatakan Jokowi memiliki tiga pilar utama sebagai penyangga kekuatan politik selama menjabat sebagai presiden. Pilar-pilar itu yakni popularitas, penggunaan instrumen negara, dan pembagian kekuasaan.

Marcus menilai Jokowi sangat mahir dalam mengombinasikan ketiga pilar ini untuk memperkuat posisinya di kalangan elit politik domestik. Dia menyebut popularitas adalah pilar terpenting dari kekuasaan Jokowi sebagai presiden.

Tanpa popularitas, Jokowi akan menjadi rentan terhadap tekanan dari elit politik, kurang menarik secara elektoral, dan fondasi sosial pemerintahannya bisa runtuh.

Untuk memperoleh dan mempertahankan popularitas, Jokowi selalu menyampaikan capaian yang fokus pada beberapa hal strategis. Beberapa contohnya adalah sasaran inflasi, distribusi bantuan sosial, pembangunan infrastruktur dan citra sebagai sosok yang merakyat.

Pilar kedua kekuasan Jokowi yakni penggunaan instrumen negara. Menurut Marcus, Jokowi mampu menggunakan kekuasaan negara untuk mempengaruhi elit politik hingga menggunakannya untuk menekan potensi penentangan atau sentimen negatif dari masyarakat umum.

Marcus memberikan contoh saat Jokowi memerintahkan polisi membentuk unit khusus untuk memantau dan mengendalikan kritik, dan memberi peringatan kepada pelanggar protokol kesehatan agar menghentikan komentar mereka.

Selanjutnya pilar ketiga kekuasaan Jokowi mengacu pada pilihan untuk berbagi kekuasaan dengan aktor-aktor lain. Jokowi disebut menyadari pentingnya berbagi kekuasaan dengan berbagai pihak untuk memastikan pemerintahan berjalan lancar dan efektif.

"Kombinasi dari ketiga elemen kekuasaan ini dan tekad Machiavellian-nya untuk memperluasnya seiring waktu menjadikannya sebagai presiden paling kuat di era pasca-Suharto," kata Marcus dalam ceramahnya bertajuk 'Jokowi’s world: power, democracy and international contestation in Indonesia' pada Jumat (13/9).

Presentasi yang disampaikan oleh Marcus merupakan rangkaian agenda '2024 Indonesia Update conference: How Jokowi changed Indonesia' yang diselenggarakan oleh Australian National University pada 13-14 September 2024. Rangkaian sesi acara dapat disaksikan melalui daring lewat kanal Youtube ANUIndonesiaProject.

Lebih lanjut, Marcus melihat sosok Jokowi sebagai politikus yang mampu mengidentifikasi diri. Memulai karir politik sebagai kader biasa di sebuah partai politik, Jokowi memahami pentingnya persepsi tentang posisinya dalam sistem politik nasional.

Marcus menjelaskan Jokowi menyadari bahwa untuk sukses, dia harus berkolaborasi dan membangun jaringan aliansi luar dengan elit politik sembari mengawasi mereka.

Selain membangun aliansi, Jokowi juga mengawasi elit politik dan menggunakan tindakan koersif untuk mendapatkan kompromi dari aktor politik kunci.

Marcus mengatakan bahwa Jokowi sangat mengerti bahwa kasus korupsi adalah sumber daya untuk mengendalikan elit. Dia menyadari bahwa korupsi dapat membuat aktor elit rentan dan dapat digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi mereka.

"Korupsi adalah kelemahan terbesar dalam pertahanan lawan dan sekutunya," ujar Marcus.

Lumpuhkan Lawan Politik Lewat Kasus

Marcus mengatakan Jokowi diduga kerap menggunakan tuduhan korupsi sebagai alat untuk memastikan kesetiaan elit politik terhadapnya. Menurutnya, hal ini berbekal kontrol atas kasus yang diproses Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, dan kejaksaan.

Dia bisa memutuskan kasus mana yang akan ditindaklanjuti dan mana yang akan diabaikan. "Jokowi bisa mengandalkan fakta bahwa elit yang ditempatkan di kantor politik akan menguras anggaran dan terlibat dalam berbagai praktik patronase," kata Marcus.

Marcus mengatakan, Jokowi memang pernah menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu janji utama kampanye pemilihan presiden 2014. Namun usaha untuk mengurangi korupsi justru menjadi tidak menguntungkan baginya.

Menurut Marcus, upaya Jokowi untuk mengurangi atau menekan praktik korupsi akan mengancam kekuasaannya sebagai presiden. Ini karena hal tersebut akan menghilangkan salah satu senjata efektif untuk mengendalikan elit politik.

"Dalam setiap kasus, Jokowi percaya bahwa mereka akan rentan terhadap tekanannya untuk melakukan apa yang dia inginkan," ujar Marcus.

Selain itu, Jokowi secara strategis menempatkan tokoh-tokoh yang terlibat dalam praktik korupsi di posisi-posisi kunci dalam kekuasaan politik. Hal ini dilakukan karena cara tersebut memudahkan pengawasan untuk kepentingan politiknya.

Kerusakan Fungsi Institusi Politik

Di sisi lain, Jokowi menghindari mengisi posisi-posisi kunci di kabinet seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, dan Menteri Sekretaris Negara dengan individu-individu yang terlibat dalam korupsi.

"Sebaliknya, Jokowi mengisi kabinetnya dengan orang-orang yang memiliki sumber daya finansial besar yang bisa dimanfaatkan, tetapi juga rentan karena cara mereka memperoleh kekayaan tersebut," kata Marcus.

Dengan demikian, Marcus mengatakan bahwa Jokowi memanfaatkan korupsi, patronase, dan nepotisme sebagai cara utama untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara mengendalikan elit politik.

Pada sesi yang berbeda, keputusan Jokowi untuk berbagi kekuasaan dengan elit politik predator berdampak negatif pada warisan kepresidenannya. Elit predator yang dimaksud adalah kelompok yang memanfaatkan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi.

"Cara khususnya dalam berbagi kekuasaan menyerahkan arena kunci pemerintahan kepada elit predator merusak kesehatan institusi politik," ujar Marcus.

Di kesempatan yang sama, Direktur Institute for Public Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones menyoroti kemampuan Jokowi melakukan konsolidasi aparat keamanan dan militer.

Jones mengatakan pada awal pemerintahannya, Jokowi masih terlihat tunduk dengan keinginan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri. Hal ini terlihat dari pemilihan Ryamizard Ryacudu sebagai Menteri Pertahanan dan Budi Gunawan yang awalnya diplit menjadi Wakil Kapolri.

Belakangan, Jokowi berhasil menempatkan orang-orang yang dianggap dekat dengan dirinya di TNI dan Polri. Hal ini semakin terlihat pada masa Covid-19 hingga konsolidasi kekuatan pada 2024.

"Jokowi memang mengubah sektor keamanan, tetapi menjadi lebih buruk," katanya.

Meski demikian, belum ada komentar Istana soal pernyataan akademisi Australia itu. Hingga berita ini ditulis, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana belum merespons pesan singkat Katadata.co.id.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...