Ada Kekhawatiran Gelombang Kedua Corona, 5G Makin Diminati
Riset perusahaan telekomunikasi asal Swedia, Ericsson, menunjukkan bahwa masyarakat semakin mengandalkan internet selama pandemi corona. Jaringan internet generasi kelima (5G) pun diprediksi makin diminati saat normal baru (new normal).
Country Head of Ericsson Indonesia Jerry Soper menjelaskan, masyarakat mulai beralih ke layanan digital guna mencegah penularan virus corona. Ini tecermin dari hasil riset bertajuk Ericsson Mobility Report, bahwa lalu lintas data internet di perumahan meningkat 20-100%.
"Beralihnya bekerja dan belajar menjadi dari rumah, membuat traffic data di perumahan meningkat,” kata Jerry saat konferensi pers secara virtual, Selasa (23/6).
Riset tersebut berdasarkan survei terhadap 11 ribu responden di 11 negara berusia 15-69 tahun, selama 8-24 April lalu. Negara yang disurvei yakni Brasil, Tiongkok, Prancis, Jerman, India, Italia, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat.
Mereka dinilai mewakili 700 juta pengguna ponsel. (Baca: Menristek Paparkan 10 Tren Teknologi Selama Pandemi Covid-19)
Riset tersebut menunjukkan, 83% responden mengaku internet membantu mereka menjalani masa karantina wilayah (lockdown). Layanan internet paling banyak digunakan untuk aplikasi belajar (e-learning) dan kesehatan.
Setelah pandemi, riset mengungkapkan bahwa 57% responden akan menabung demi keamanan finansial. Sepertiga lainnya berencana berinvestasi pada 5G dan jaringan broadband untuk di rumah.
Hal itu dilakukan karena responden bersiap menghadapi normal baru. Mereka juga khawatir adanya gelombang kedua Covid-19.
Teknologi 5G dinilai bisa mendukung responden menghadapi kebiasaan hidup baru di tengah pandemi corona. "Teknologi ini bisa merumuskan ulang cara orang berinteraksi, berkegiatan sehari-hari, serta bekerja," kata Jerry.
(Baca: Fase Normal Baru, 5 Teknologi Diprediksi Paling Dicari Imbas Corona)
Riset itu juga mengungkapkan, 44% responden percaya bahwa 5G bisa memberi manfaat besar di masyarakat. Responden percaya, teknologi ini mendukung beragam aktivitas mereka selama normal baru, seperti rapat virtual, dan pembelajaran online.
Chief Technology Officer for Asia-Pacific Magnus Ewerbring menambahkan, 5G akan menciptakan peluang baru bagi perusahaan dalam memperluas bisnis mereka di berbagai sektor. Sebab, teknologi ini mempunyai kecepatan lebih tinggi.
Tingkat keterlambatan pengiriman data atau latensinya pun sangat rendah, dengan jangkauan luas. “Teknologi 5G memungkinkan pengguna memiliki pengalaman cepat dan mulus, yang belum pernah mereka miliki sebelumnya," katanya.
Ewerbring menilai, 5G berpotensi mendorong pertumbuhan bisnis. Perusahaan memprediksi, nilai tambah dari layanan digitalisasi yang menggunakan 5G mencapai US$ 41 miliar pada 2030.
(Baca: Pengembangan 5G di Indonesia Hadapi Empat Tantangan)
Menteri Riset Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro pun sepakat bahwa 5G akan semakin diminati. "Ke depannya akan ada campuran antara online dan offline (dalam kegiatan sehari-hari),” ujar dia saat mengikuti Katadata Forum Virtual Series bertajuk 'Penanggulangan Covid-19 Berbasis Pengetahuan Dan Inovasi', kemarin (22/6).
Namun, Smartfren mengatakan, ada empat tantangan dalam mengembangkan 5G di Tanah Air. Pertama, nilai investasinya besar. Pemerintah pun menyarankan operator seluler untuk berbagi infrastruktur guna menekan biaya. Riset McKinsey menunjukkan, berbagi fasilitas dapat mengurangi biaya investasi 5G hingga 40%.
"Investasi memengaruhi apakah kami bisa gunakan 5G atau tidak. Kami harus cek," ujar VP Technology Relations and Special Project Smartfren Munir Syahda Prabowo saat konferensi pers secara virtual, pekan lalu (17/6).
(Baca: Adopsi 5G dan IoT di Indonesia Tertunda Akibat Pandemi Corona)
Kedua, regulasi. Pemerintah masih mengatur frekuensi yang tepat untuk adopsi 5G di Indonesia. "Kami tunggu dulu. Sebab, tidak mudah mengalokasikan frekuensi 5G dengan yang sedang digunakan saat ini. Butuh kajian mendalam," katanya.
Ketiga, infrastruktur yang kuat dan besar. Tidak seperti 4G dan 3G, teknologi 5G membutuhkan kapasitas data yang besar.
Bukan hanya Base Transciever Station (BTS), tetapi juga perangkat pendukung. Oleh karena itu, butuh kolaborasi antarperusahaan telekomunikasi dalam penyediaan infrastruktur.
Terakhir, penyesuaian produk layanan. Jenis produk dan harga untuk pelanggan perorangan harus disesuaikan. Ia mencontohkan, saat ini kuota data seluler yang dijual di kisaran 60 GB. Saat 5G diterapkan, kuota data yang dijual minimal 100 GB.