Pusat Data RI Rawan Hadapi Gempa, tapi Tetap Diminati Amazon Dkk
EdgeConneX mengatakan, bisnis pusat data (data center) di Indonesia menghadapi tantangan seperti gempa dan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM). Meski begitu, sektor ini diminati oleh Amazon, Microsoft, Google hingga Alibaba.
Managing Director APAC Edgeconnex Kelvin Fong mengatakan, potensi pasar pusat data Nusantara besar. "Ini karena pertumbuhan infrastruktur digital di Indonesia yang masif," katanya dalam konferensi pers virtual, Rabu (18/5).
Menurut laporan Mordor Intelligence, pasar pusat data Indonesia US$ 1,67 miliar tahun lalu. Pasarnya diperkirakan tumbuh menjadi US$ 3,43 miliar pada 2027, dengan tingkat pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR) lebih dari 13%.
Structure Research juga mengungkapkan bahwa ukuran pasar colocation pusat data di Jakarta US$ 336,6 juta tahun ini. Pasarnya akan mencatatkan CAGR 22,7% hingga 2027.
Namun, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi perusahaan pusat data di Indonesia, yakni:
1. Terkait kondisi geografi
"Indonesia sering terjadi gempa dan gunung meletus. Setiap negara memang punya tantangan masing-masing. Jadi penting untuk perusahaan seperti EdgeConneX melihat tantangan itu," kata Fong.
Tantangan geografis seperti itu juga dialami oleh EdgeConneX di Jepang yang rawan gempa bumi. Perusahaan kemudian menerapkan desain pusat data yang tahan akan gempa.
2. Ketersediaan SDM
"Perlu adanya pelatihan yang lebih kepada tenaga kerja dan rekan untuk tahu mengenai pusat data," ujarnya.
3. Regulasi dari pemerintah seperti perpajakan atau kebijakan investasi
4. Keberlanjutan bisnis
"Ini jadi hal fundamental bagi EdgeConneX," katanya. Oleh karena itu, perusahaan agresif mengembangkan energi terbarukan untuk pusat data.
EdgeConneX masuk ke Indonesia sejak April. EdgeConneX membeli pusat data yang sebelumnya dimiliki oleh PT Multipolar Technology Tbk (MLPT) dan Mitsui & Co Ltd.
Fong mengatakan, EdgeConneX akan menyediakan pusat data di Indonesia untuk keperluan perusahaan baik dari Amerika Serikat (AS), Cina hingga lokal.
Ini juga seiring dengan besarnya permintaan layanan komputasi awan (cloud) di Indonesia. Selain itu, perusahaan seperti e-commerce lokal pun banyak yang menggunakan pusat data.
EdgeConneX mempunyai lebih dari 50 pusat data di 40 pasar lebih. Perusahaan ini mempunyai 1,5 juta data point yang dimonitor oleh EdgeOS.
Perusahaan tersebut akan bersaing dengan Amazon, Alibaba hingga Google di pasar Indonesia. Para penyedia solusi cloud global ini mengincar pasar Indonesia karena potensinya besar.
Berdasarkan data dari Statista, pendapatan pasar cloud di Indonesia tumbuh pesat, dari US$ 172,1 juta atau Rp 2,4 triliun pada 2016 menjadi US$ 1,2 miliar atau Rp 17 triliun pada 2022.
Berdasarkan laporan berjudul The Future of Cloud in Asia Pacific dari Cisco dan BCG, pengeluaran infrastruktur informasi dan teknologi (IT), serta public cloud Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara.
Pertumbuhan majemuk tahunan alias CAGR pengeluaran perusahaan di Indonesia untuk IT 13% selama 2020 - 2024. Sedangkan di Malaysia 10% dan Singapura 8%.
CAGR pengeluaran layanan public cloud di Indonesia 25%. Lebih tinggi dibandingkan Malaysia 23% dan Singapura 20%.