Pemerintah Minta Garuda Hitung Dampak Kekalahan di Arbitrase London
Garuda Indonesia kalah dalam kasus gugatan pembayaran uang sewa pesawat di Pengadilan Arbitrase Internasional London (LCIA). Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meminta kepada manajemen maskapai untuk berbenah.
Kementerian BUMN juga meminta manajemen Garuda Indonesia mempelajari langkah yang perlu dilakukan usai dinyatakan kalah dalam gugatan di pengadilan arbitrase LCIA. Maskapai diminta memetakan dampak dari gugatan tersebut terhadap operasional perusahaan.
“Kami meminta Garuda mempelajari lebih lanjut kasus tersebut dan langkah-langkah apa yang bisa dilakukan," kata Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga dalam keterangan resmi, Kamis (9/9).
Setelah kalah dalam gugatan di pengadilan arbitrase LCIA, Garuda Indonesia wajib membayar uang sewa pesawat. Selain itu, kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian sewa pesawat dan pembayaran bunga keterlambatan kepada penggugat yakni lessor Helice dan Atterisage (Goshawk).
Garuda Indonesia juga harus membayarkan biaya perkara penggugat. "Terhadap putusan tersebut, Garuda sedang berkoordinasi dengan lawyer yang menangani kasus ini untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya yang dapat dilakukan," kata manajemen Garuda dikutip dari keterbukaan informasi, Rabu (8/9).
Manajemen Garuda memastikan, putusan LCIA tersebut tidak berdampak langsung terhadap kegiatan operasional maskapai nasional tersebut. Seluruh aspek kegiatan operasional penerbangan akan tetap berlangsung dengan normal.
Garuda Indonesia berkomitmen mengoptimalkan ketersediaan layanan penerbangan yang aman dan nyaman dalam memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat maupun pengangkutan kargo bagi sektor perekonomian nasional.
Dalam laporan keuangan periode Juni, Garuda menjelaskan bahwa gugatan itu bermula pada 27 Maret 2020. Helice mengajukan permohonan kepada Pengadilan Belanda untuk melakukan sita jaminan atas dana yang ada pada rekening Garuda di Amsterdam.
Permohonan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Belanda.
Helice juga mengajukan gugatan pokok perkara kepada Perusahaan di Pengadilan London. Pada 20 Januari, Pengadilan London mengabulkan eksepsi kompetensi absolut (challenge of jurisdiction) yang diajukan.
Namun, itu dengan pertimbangan, Pengadilan London tidak berwenang memeriksa gugatan itu. Kewenangan ada di LCIA.
Pada 16 Februari, Helice dan lessor lain yang berada dalam satu manajemen, yaitu Atterissage, mengajukan gugatan arbitrase di LCIA dan memperbaharui permohonan sita jaminan yang pernah diajukan sebelumnya. Sebulan kemudian, Garuda memberikan tanggapan terhadap gugatan dari Helice dan Atterissage.
Kerugian yang dialami Garuda Indonesia terus membengkak pada semester I. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, rugi bersih maskapai nasional ini mencapai US$ 898,65 juta (Rp 12,82 triliun) dari periode sama tahun lalu US$ 712,72 juta (Rp 10,17 triliun).
Bengkaknya kerugian Garuda Indonesia pada semester I sejalan dengan total pendapatan usaha yang turun 24,04% menjadi US$ 696,8 juta. Omzet mayoritas masih berasal dari penerbangan berjadwal US$ 556,53 juta, namun anjlok 25,82%.
Garuda Indonesia mencatatkan total aset US$ 10,14 miliar per Juni atau turun dari US$ 10,78 miliar per Desember 2020. Ini terdiri dari aset lancar US$ 403,57 juta dan aset tidak lancar US$ 9,71 miliar.
Namun, total liabilitas Garuda Indonesia US$ 12,96 miliar per Juni, naik dari US$ 12,73 miliar per Desember 2020. Liabilitas jangka pendek US$ 5,05 miliar. Sedangkan jangka panjang US$ 7,9 miliar.
Lantaran total aset yang lebih kecil dari liabilitas, Garuda Indonesia mencatatkan ekuitas negatif US$ 2,84 miliar per Juni. Sedangkan per Desember 2020, ekuitas Garuda Indonesia juga sudah negatif US$ 1,94 miliar.