Menakar Peluang Konsolidasi di Antara GoPay, DANA, OVO, dan LinkAja
Para pelaku usaha di industri finansial teknologi (fintech) seperti GoPay, OVO, DANA dan LinkAja menanggapi beragam peluang konsolidasi ke depan. Aksi korporasi ini pun dinilai bisa meningkatkan efisiensi perusahaan.
Head of Brand and Marketing Communication Group LinkAja Ignatius Untung mengatakan, kolaborasi antarfintech pembayaran sangat memungkinkan terjadi. Apalagi, menurutnya beberapa perusahaan fintech seperti DANA, OVO, dan GoPay memiliki investor besar baik di dalam maupun luar negeri.
"Jadi, kolaborasi akan sangat mungkin terjadi. Bahkan, kami pun sempat terpikirkan, kenapa kita tidak buat (konsolidasi) bersama? Saya pikir tidak akan ada masalah dengan itu," kata dia dalam acara Katadata Forum: Menakar Gelombang Besar Transaksi Digital di Jakarta, Kamis (24/10).
Ignatius melanjutkan, industri fintech pembayaran juga seharusnya membuat program layaknya perusahaan e-commerce seperti Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas). Hal ini berpotensi membuat para pemain fintech pembayaran mendapatkan peran dan keuntungannya masing-masing secara bersamaan.
"Lalu apakah mereka akan berlanjut lebih dalam lagi? Termasuk konsolidasi, itu pun memungkinkan. Yang harus diperhatikan itu adalah para pemain fintech yang baru," katanya. Ia menilai, kondolidasi dapat mendorong antarpemain di industri untuk dapat tumbuh bersama
(Baca: Peluang Konsolidasi Fintech di Mata GoPay, OVO dan DANA)
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), ada 58 penyelenggara teknologi finansial yang terdaftar. Lalu, ada 38 perusahaan yang mendapat izin menerbitkan uang elektronik. Mayoritas dari jumlah tersebut merupakan fintech.
Ignatius menilai, kolaborasi beberapa fintech pembayaran saat ini dapat mendorong konsolidasi. "Bisa saja konsolidasi ini berjalan maupun tidak. Namun yang terpenting adalah semua pemain fintech bisa sama-sama tumbuh dan membuka pasar (transaksi non-tunai) di Indonesia," kata dia.
Hal berbeda disampaikanCEO DANA Vincent Henry Iswara. Ia mengatakan, konsolidasi antarfintech pembayaran di Indonesia masih terlalu dini. Sebab, ia mencatat bahwa jumlah penetrasi digital payment di Tanah Air masih sangat kecil, yakni baru 7%. Karena itu, masih ada 93% masyarakat yang harus disasar.
"Jika para fintech melakukan merger, konsolidasi, makin mengerucut, lalu siapa yang bisa mendorong angka 93% ini? " kata dia. Bahkan, menurutnya fintech asal Tiongkok Alipay butuh waktu sekitar 14 tahun untuk mendorong jumlah penetrasi keuangan di negaranya.
(Baca: OVO Tanggapi Kabar Bakal Gabung DANA hingga Jadi Unicorn)
Sedangkan, Vincent mengatakan pengembangan industri fintech pembayaran di Tanah Air baru berkalam tiga tahun. "Masih jauh (perjalanannya). Kami tetap bisa bersama-sama mengerjakan (industri ini) dengan cara yang berbeda-beda. Karena tiap perusahaan pasti punya strategi yang berbeda dan ini hal yang bagus," kata dia.
Head of Public Relations OVO Sinta Setyaningsih menambahkan, persaingan antarfintech tetap bakal terjadi. Ia menilai, proses seleksi alam lah yang akan membuat jumlah pemain mengerucut.
"Jadi, jalan (industri fintech pembayaran) masih sangat panjang. Kami belum bisa prediksi ke depannya bakal seperti apa, memungkinkan (konsolidasi) atau tidak," katanya. Namun, menurut perusahaan saat ini yang terpenting adalah bagaimana adopsi transaksi non-tunai pada akhirnya bisa dimanfaatkan masyarakat.
(Baca: Gojek Sebut Ada Peluang GoPay Jadi Unit Bisnis Terpisah)
Sebelumnya, Head of Corporate Communications GoPay Winny Triswandhani mengatakan, perusahannya memilih berfokus pada kolaborasi dalam rangka memperkenalkan layanan dompet digital ke masyarakat. “Salah satu yang kami ajak kerja sama adalah fintech,” kata dia kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu (25/9).
Ia mencontohkan, layanan pembayaran GoPay bisa dipakai untuk membeli reksa dana di bibit.id. Bibit.id merupakan fintech penasihat digital (robo advisor) yang menakar produk investasi sesuai dengan level risiko pengguna.
Selain itu, fintech pembayaran Finarya bekerja sama dengan Gojek untuk menghadirkan layanan LinkAja di aplikasi. Dengan begitu, ada dua dompet digital di platform Gojek. “Saat ini fokus kami adalah bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memperkenalkan transaksi non-tunai di seluruh lapisan masyarakat Indonesia,” katanya.
McKinsey dalam laporannya bertajuk ‘Synergy and Disruption: Ten trends shaping fintech’ pada akhir tahun lalu menyebutkan, ada tiga tren yang akan membentuk lanskap layanan keuangan digital Tiongkok.
Pertama, para pemain yang skalanya besar akan terus mengadopsi teknologi. Dengan begitu, mereka bisa merambah model bisnis fintech-as-a-service (FaaS) dengan menyediakan solusi layanan bagi perusahaan sejenis yang skalanya lebih kecil.
Kedua, bank dan perusahaan asuransi berinvestasi besar-besaran untuk menawarkan layanan berbasis digital. Salah satu contohnya, PingAn. Terakhir, pemerintah berpotensi membuat peraturan untuk mendorong konsolidasi fintech.
(Baca: Kabar OVO Gabung dengan DANA, Menteri Kominfo Minta Ikuti Aturan)