Jurus Fintech Gandeng BPR dan E-Commerce untuk Melawan Bank Digital

Desy Setyowati
19 Maret 2021, 18:08
Jurus Fintech Gandeng BPR dan E-Commerce untuk Melawan Bank Digital
Jakub Jirsak/123rf
Ilustrasi fintech
  • OJK menerbitkan panduan dua skema kerja sama fintech lending dengan BPR.
  • Fintech lending gencar menggaet BPR dan e-commerce di tengah maraknya bank digital.
  • Segmen kredit dengan plafon rendah akan menjadi medan persaingan fintech dan bank digital.

 Di tengah maraknya bank digital di Tanah Air, startup teknologi finansial pembiayaan atau fintech lending gencar menggaet Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan e-commerce. Ekonom menilai, fintech lending akan bersaing ketat dengan bank digital dalam menyediakan kredit retail.

Pada Februari kemarin, fintech Akulaku menggaet BPR Supra Artapersada, BPR Naribi Perkasa, BPR Ciledug Dhana Semesta, dan BPR Rama Ganda. Lalu Modal Rakyat berkolaborasi dengan BPR Masyarakat Mandiri (Bank MM).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun menerbitkan panduan dua skema kerja sama fintech lending dengan BPR yakni channeling dan referral. “Kolaborasi ini memungkinkan lebih banyak pengguna yang dijangkau,” kata Co-Founder sekaligus CEO Modalku Reynold Wijaya kepada Katadata.co.id, Jumat (19/3).

Saat ini, Modalku beroperasi di Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Surabaya. Fintech ini telah bekerja sama dengan beberapa BPR seperti BPR Varia Centralartha, BPR Bekasi Binatanjung Makmur, BPR Sukawati Pancakanti.

“Kami percaya bahwa BPR lebih mengenal karakteristik dan kebutuhan masyarakat di daerah operasionalnya,” ujar Reynold. “Kami terbuka untuk berkolaborasi dengan BPR yang lainnya.”

Selain BPR, Modalku menyasar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di ekosistem e-commerce. Co-Founder sekaligus COO Modalku Iwan Kurniawan mengatakan, penyaluran pinjaman pada tahun lalu tetap naik karena UMKM merambah ekosistem digital di tengah pandemi corona.

“Penetrasi digital yang terus meningkat menjadi potensi bagi bisnis Modalku. Masyarakat jadi lebih paham mengenai manfaat fintech," kata Iwan dalam siaran pers, Januari lalu (18/1).

UMKM digital yang disasar oleh fintech lending bukan hanya di marketplace seperti Tokopedia dan Shopee, juga Gojek hingga Sayurbox. Fintech Awan Tunai mengumumkan kemitraan dengan Sayurbox dan Swiss Capacity Building Facility (SCBF) pada hari ini.

Awan Tunai bertugas mengembangkan pengumpulan data dan infrastruktur penilaian digital melalui dana yang difasilitasi oleh SCBF. Ini bertujuan membentuk proses manajemen risiko kredit yang diterima oleh bank lebih sesuai untuk UMKM petani.

Selain itu, untuk pengembangan sistem infrastruktur dasar. “Terbatasnya akses ke dukungan kredit formal, permodalan, dan teknologi, menimbulkan dampak negatif terhadap stabilitas ekonomi petani. Kemitraan ini akan berpengaruh besar pada kesejahteraan petani,” kata CEO Awan Tunai Dino Setiawan dalam siaran pers, Jumat (19/3).

Sedangkan fintech lending syariah, Alami, bekerja sama dengan lini bisnis Bukalapak di sektor e-procurement BukaPengadaan. Startup ini memberikan kredit syariah kepada mitra dan pelanggan BukaPengadaan.

“Pembiayaan syariah ini diharapkan bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Ini saatnya UMKM naik kelas untuk memenuhi kebutuhan pengadaan di skala Business to Business (B2B) dan Business to Government (B2G),” ujar CEO Alami Dima Djani dalam siaran pers, Selasa (16/3).

Fintech lain yang menggaet e-commerce B2B yakni KoinWorks. Melalui KoinP2P, perusahaan menggaet e-commerce di bidang bisnis likuidasi inventaris B2B, Zaapko.

Zaapko menyediakan solusi pembayaran berupa akses kredit dari KoinWorks bagi pelanggannya. Pembiayaan dilakukan melalui skema cicilan, invoice financing dan buyer financing.

BANK INDONESIA TARGETKAN 12 JUTA PENGGUNA QRIS
BANK INDONESIA TARGETKAN 12 JUTA PENGGUNA QRIS (ANTARA FOTO/Reno Esnir/wsj.)

Sedangkan Co-Founder sekaligus CEO Akseleran Ivan Tambunan mengatakan, perusahaan memiliki lebih dari 15 lender institusi. Beberapa di antaranya BCA, Bank Mandiri, Bank J Trust, BPR Supra, Credit Saison, Mandiri Tunas Finance, Radana Finance, dan Ciptadana.

Dengan BPR Supra, perusahaan menyalurkan total pinjaman usaha sekitar Rp 23 miliar. “Ke depan, kami membuka diri seluas-luasnya untuk berkolaborasi dengan BPR lain, sekaligus selalu mengedepankan proses mitigasi risiko kredit,” ujar dia kepada Katadata.co.id, Jumat (19/3).

Peluang Fintech Saingi Bank Digital Lewat BPR dan E-Commerce

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, kerja sama fintech dengan e-commerce sangat penting untuk mendorong penyaluran pinjaman. Ini karena segmen retail atau kredit dengan plafon rendah akan menjadi medan persaingan antara fintech dan bank digital.

“Jika fintech lebih agresif menggaet platform e-commerce, pangsa pasarnya sulit ditembus oleh bank digital. Kecuali perang promosi seperti penawaran bunga atau denda yang rendah,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Jumat (19/3).

Apalagi, layanan e-commerce masif digunakan selama pandemi virus corona. Studi Facebook dan Bain and Company menunjukkan bahwa jumlah konsumen digital di Indonesia diperkirakan naik dari 119 juta pada 2019 menjadi 137 juta tahun lalu. Persentasenya pun melonjak dari 58% menjadi 68% terhadap total populasi.

Sedangkan jumlah konsumen digital di Asia Tenggara tertera pada Databoks di bawah ini. Data ini menunjukan potensi transaksi yang dapat diraih oleh pedagang online, termasuk di e-commerce.

Kerja sama dengan BPR ini tantangannya akan lebih berat. Bhima mencatat, porsi penyaluran pinjaman BPR lewat fintech masih sangat kecil. “Ini karena pengurus BPR masih wait and see dan selektif memilih mitra, terkait risiko maupun kekhawatiran data nasabah bocor ke pihak ketiga,” ujarnya.

Meski begitu, ia melihat bahwa BPR berpotensi besar menggaet fintech lending ke depan. Ini karena persaingan semakin ketat.

Berdasarkan data OJK, porsi lender insitusi terus meningkat signifikan yakni dari 0,2% di Januari menjadi 1,1 % pada November 2020. Kenaikan tertinggi yaitu dari 0,22 % pada Juli menjadi 0,33 % di Agustus. Kemudian, dari September 0,34 % menjadi 0,75 % pada Oktober 2020.

Bhima memperkirakan, porsi lender institusi di fintech lending terus meningkat 2 hingga 5 % tahun ini.

Akan tetapi, fintech lending dinilai perlu meningkatkan kapasitas modal dan sumber daya manusia (SDM) untuk bersaing dengan bank digital. “Semakin banyak kerja sama, tentu membutuhkan sistem yang lebih kompleks dan pada akhirnya berakibat pada biaya operasional,” kata dia.

Sedangkan Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Riswinandi optimistis, kerja sama fintech dan BPR dapat meningkatkan kualitas kredit. Pada tahun lalu, rasio kredit bermasalah fintech terus meningkat.

Namun, rasionya terus menurun sejak September 2020. Pada Desember, tingkat keberhasilan bayar 90 hari (TKB 90) 95,22 %. Ini artinya, hanya 4,78 % yang membayar lebih dari 90 hari dari tenggat waktu.

“Jumlah dan kantor yang banyak dan tersebar di seluruh Indonesia, serta faktor pengalaman dan kedekatan personal dengan nasabah merupakan nilai lebih yang dimiliki BPR. Hal itu dapat memperbaiki kualitas penyaluran pinjaman fintech lending dan memperkuat industri,” kata Riswinandi dalam pengantar Buku Panduan Kerja Sama BPR dan Fintech Lending.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menambahkan, kolaborasi itu penting bagi industri BPR dalam meningkatkan adaptasi teknologi informasi dan digitalisasi. Ini juga dapat mengakselerasi pendanaan fintech lending di daerah.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK Teguh Supangkat menyampaikan, bagi BPR, kolaborasi ini dapat menjadi alternatif solusi dalam meningkat kualitas pelayanan dan memperkuat analisis penyaluran kredit.

Juru Bicara Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Andi Taufan Garuda Putra mengatakan, kolaborasi tersebut memaksimalkan potensi masing-masing institusi untuk memperluas jaringan pemasaran. Begitu juga dengan e-commerce.

Kerja sama seperti ini dinilai bakal mendorong penyaluran kredit, terutama ke sektor produktif. AFPI mencatat, kredit oleh fintech lending tumbuh 27% menjadi Rp 74 triliun pada tahun lalu.

Berdasarkan data OJK, pencairan baru pinjaman produktif pun meningkat dari Rp 18,36 triliun pada 2019 menjadi sekitar Rp 28,24 triliun tahun lalu.

Sebanyak 70% pendanaan syariah di sektor ini merupakan UMKM online. Untuk klaster produktif, 42% yakni UMKM offline. Lalu, 64,1% pada klaster konsumtif yaitu UMKM offline.

Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan

The pandemic has led Indonesia to revisit its roadmap to the future. This year, we invite our distinguished panel and audience to examine this simple yet impactful statement:

Reimagining Indonesia’s Future

Join us in envisioning a bright future for Indonesia, in a post-pandemic world and beyond at Indonesia Data and Economic Conference 2021. Register Now Here!

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...