Pendirinya WNA, Fintech Cashlez Mengeluh Sulit Kantongi Izin BI
Cashlez sebenarnya berdiri pada 2015, namun baru beroperasi setahun setelahnya. Di awal kehadirannya, Cashlez fokus menyediakan layanan kasir berbasis ponsel pintar (smartphone) atau mobile point of sale (mPOS). Perusahaan juga bekerja sama dengan Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, dan Maybank.
Pada 2017, startup ini mendapat investasi dari Mandiri Capital Indonesia. Pada April lalu, Cashlez menyelesaikan putaran pendanaan seri A yang dipimpin oleh perusahaan perdagangan dan investor asal Jepang, Sumitomo Corporation.
Cashlez menargetkan bisa menggaet 5 ribu mitra hingga akhir tahun ini. Untuk itu, Cashlez fokus menggandeng lebih banyak fintech pembayaran. Beberapa yang sudah diajak kerja sama adalah OVO, GoPay, Yap! dari BNI hingga LinkAja.
(Baca: Agregator Fintech Pembayaran Cashlez Targetkan 5 Ribu Mitra Tahun Ini)
Adapun kebijakan terkait kepemilikan asing pada industri fintech pembayaran diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Uang Elektronik. Aturan Itu fokus memperkuat tiga aspek penyelenggaraan uang elektronik yakni kelembagaan, perlindungan konsumen; serta, peningkatan keamanan dan akseptansi.
Dari sisi kelembagaan, BI membatasi kepemilikan asing sebesar 49%, menetapkan minimal modal disetor, dan mengelompokan izin penyelenggara. Lalu, BI mewajibkan penyelenggara uang elektronik meningkatkan standar keamanan transaksi dan memproses transaksi secara domestik.
Kemudian, dari aspek perlindungan konsumen, BI mengatur penataan struktur biaya dan mekanisme pengelolaan floating fund yang lebih transparan dan akuntabel, dengan tetap mengedepankan mitigasi risiko likuiditas dan insolvensi.
(Baca: Penerbit Uang Elektronik Lokal Dukung BI Batasi Kepemilikan Asing)