Facebook - TikTok Terancam Denda karena Aturan Baru Eropa dan Inggris
Pemerintah Inggris dan Uni Eropa sama-sama meluncurkan regulasi terkait konten berbahaya di platform media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok hingga Twitter. Raksasa teknologi yang melanggar terancam denda 6% hingga 10% dari pendapatan.
Pemerintah Inggris meluncurkan proposal regulasi baru untuk mendorong perusahaan untuk membersihkan platform dari konten ilegal dan yang melanggar ketentuan. "Inggris menetapkan standar global untuk keamanan online dengan pendekatan paling komprehensif," kata Sekretaris Negara untuk urusan Digital, Budaya, Media dan Olahraga Inggris Oliver Dowden dikutip dari CNBC Internasional, Selasa (15/12).
Setelah proposal diterbitkan, parlemen Inggris akan membuat kerangka peraturan baru dan bakal menjadi undang-undang. “Ini menjadi aturan tegas bagi bisnis raksasa digital untuk dipatuhi, sehingga kami dapat memanfaatkan kecemerlangan teknologi modern bagi kehidupan," ujarnya.
Berdasarkan proposal tersebut, otoritas bisa memaksa perusahaan media sosial untuk menghapus konten yang berisi pelecehan seksual terhadap anak, konten teroris hingga bunuh diri. Korporasi juga dipaksa membatasi akses bagi anak-anak terhadap konten dandanan, penindasan, atau pornografi.
Facebook, Instagram, TikTok hingga Twitter juga diminta untuk menetapkan syarat dan ketentuan yang jelas terkait penanganan konten yang dapat menyebabkan kerusakan fisik atau psikologis. Konten yang dimaksud seperti informasi salah tentang vaksin virus corona.
Jika melanggar, pengawas media Inggris, Ofcom dapat mendenda perusahaan hingga 18 juta poundsterling atau US$ 24 juta (Rp 339,9 miliar). Nilainyas sekitar 10% dari omzet tahunan rerata raksasa teknologi.
Selain denda, Ofcom berwenang untuk memblokir layanan yang tidak sesuai ketentuan. Dengan begitu, platform tak dapat diakses di Inggris Raya.
Kepala kebijakan publik Facebook Inggris Rebecca Stimson mengatakan, perusahaan mendukung standar tinggi layanan digital sejak lama. "Ini untuk melindungi orang dari bahaya tanpa merusak kebebasan berekspresi atau manfaat luar biasa yang dibawa internet," katanya.
Begitu juga dengan Twitter. Perusahaan menyatakan komitmennya untuk menjaga keamanan pengguna dari konten berbahaya saat menggunakan media sosial. "Kami mendukung regulasi yang berpikiran maju," kata juru bicara Twitter dalam pernyataan resmi.
Sedangkan, TikTok akan meninjau proposal tersebut dan bekerja sama dengan pemerintah untuk memperkuat keamanan penggunaan media sosial.
Selain Inggris, Uni Eropa menyiapkan satu set aturan bernama Digital Markets Act (DMA) yang terdiri dari dua undang-undang baru. Melalui regulasi ini, otoritas bisa memaksa perusahaan menjauhkan pengguna dari konten manipulasi yang disengaja untuk memengaruhi pemilu dan kesehatan publik.
Perusahaan juga harus menunjukkan detail batasan iklan politik di platform. Selain itu, menginformasikan parameter yang digunakan oleh algoritme untuk menyarankan dan memberi peringkat informasi.
Uni Eropa juga menyiapkan aturan lain tentang perilaku monopoli perusahaan digital. Komisaris Persaingan Eropa Margrethe Vestager mengatakan, undang-undang (UU) baru ini bertujuan mengatasi perilaku raksasa teknologi yang bisa menutup akses pasar dan berkembangnya perusahaan kecil.
"Aturan itu untuk memastikan bahwa kami sebagai pengguna, memiliki akses ke berbagai pilihan produk dan layanan online yang aman," kata Margrethe dikutip dari Reuters, Selasa (15/12). "Bisnis yang beroperasi di Eropa dapat dengan bebas dan adil bersaing secara online seperti yang mereka lakukan secara offline."
Sebelum ada aturan baru tersebut, Twitter malah sudah didenda 450.000 euro atau US$ 547.000 oleh regulator data Irlandia karena melanggar peraturan perlindungan data atau GDPR Uni Eropa pada Selasa (15/12). Ini pertama kalinya perusahaan teknologi AS dihukum finansial.
" Data Protection Commission (DPC) menemukan bahwa Twitter melanggar Pasal 33 (1) dan 33 (5) GDPR dalam hal kegagalan memberi tahu pelanggaran dengan tepat waktu dan gagal mendokumentasikan pelanggaran secara memadai," kata regulator dalam pernyataan resmi, dikutip dari CNBC Internasional.
Kepala petugas privasi Twitter Damien Kieran mengatakan, pelanggaran yang dimaksud terjadi pada saat Natal dan Tahun Baru 2018, yang mengakibatkan Twitter baru melapor ke DPC lebih dari 72 jam. “Kami telah membuat perubahan sehingga semua insiden setelah ini dilaporkan ke DPC secara tepat waktu,” kata dia.