Saham Perusahaan Teknologi Runtuh, Softbank Rugi Rp 395 Triliun
Salah satu investor Grab, SoftBank, mencatatkan rekor kerugian US$ 27 miliar atau Rp 395 triliun pada unit investasinya, Vision Fund. Kerugian disumbang runtuhnya saham perusahaan teknologi seiring dengan kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed yang menaikkan suku bunga acuan.
Dikutip dari CNBC Internasional, kerugian Vision Fund pada tahun keuangan yang berakhir Maret 2022 itu menjadi yang terbesar sejak dana investasi dimulai pada 2017.
Kerugian Vision Fund juga berkontribusi pada rekor kerugian tahunan US$ 13 miliar atau Rp 190 triliun untuk seluruh unit grup SoftBank. Sahamnya pun ditutup anjlok 8% di Jepang pada perdagangan Kamis (12/5).
Selain Vision Fund, saham sejumlah teknologi anjlok merespons kenaikan suku bunga The Fed. Pasar global bergejolak karena investor bersaing dengan suku bunga The Fed dan tingkat inflasi yang merajalela. Ini membuat investor melarikan diri dari saham teknologi dengan pertumbuhan tinggi.
"Faktor ini telah menyebabkan kebingungan di dunia dan di pasar," kata pendiri SoftBank Masayoshi Son dikutip dari CNBC Internasional, Kamis (12/5).
Di Amerika, harga saham unicorn di Silicon Valley memang anjlok dan bahkan beberapa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.
Mereka pun disebut ‘zombi unicorn’. Dikutip dari NBC News, frasa ini merujuk pada startup dengan valuasi jumbo, tetapi goyah dan membutuhkan investor untuk bertahan hidup.
Silicon Valley adalah pusat inovasi di Amerika yang mencetak banyak perusahaan teknologi raksasa seperti Apple, Facebook, Google, Netflix, Tesla, Twitter hingga Yahoo. Letaknya di selatan San Francisco, California, AS. Wilayah ini menampung sekitar 2.000 perusahaan teknologi.
Sedangkan, sejumlah perusahaan portofolio SoftBank juga mencatatkan penurunan harga saham. Perusahaan e-commerce Korea Selatan Coupang yang melantai di bursa AS tahun lalu turun hampir 60% pada 2022. Anjloknya harga saham Coupang ini berkontribusi besar pada kerugian Vision Fund.
Decacorn asal Singapura Grab dan platform pesan-antar makanan asal AS Doordash juga termasuk portofolio SoftBank yang mencatatkan kinerja kurang memuaskan.
"Mengingat pukulan yang telah dialami oleh saham teknologi secara global, tidak mengherankan jika SoftBank menderita kerugian kuartalan terbesar yang pernah ada,” kata analis Tech in Asia Simon Huang.
Tindakan keras pemerintah Cina juga telah menekan portofolio SoftBank di Cina. SoftBank telah memiliki eksposur besar ke Cina melalui investasinya di raksasa e-commerce Alibaba dan perusahaan transportasi online Didi.
Namun, kedua perusahaan telah melihat penurunan tajam dalam harga saham mereka karena tindakan keras Beijing terhadap sektor teknologi domestik. Beijing memang menerapkan peraturan yang lebih ketat di berbagai bidang mulai dari perlindungan data hingga anti-monopoli.
Selain itu, kondisi geopolitik seperti invasi Rusia yang sedang berlangsung di Ukraina, kebangkitan Covid-19 di Cina, serta penguncian (lockdown) di Shanghai telah memicu kekhawatiran atas pertumbuhan global. Ini dianggap menambah tekanan ekstra pada pasar.