Asosiasi Blockchain Khawatir Pajak Kripto Bikin Kalah dengan Asing
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Penghasilan (PPh) terhadap perdagangan aset kripto sejak 1 Mei. Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) menilai pajak kripto terlalu cepat dikenakan dan khawatir pajak membuat pedagang kripto lokal kalah saing dengan pedagang luar negeri.
"Yang menjadi perhatian kami saat ini ialah tarif pajak PPh dan PPN yang harus diperkuat dasar hukumnya dan juga memperhatikan kemampuan dalam mempertahankan daya saing pelaku usaha dalam negeri," ujar Chairwoman ABI Asih Karnengsih dalam siaran pers, kemarin (30/5).
Asih mengatakan asosiasi yang mewakili seluruh calon pedagang fisik aset kripto terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sebetulnya mengapresiasi dan mendukung upaya pemerintah dalam membuat aturan pajak kripto.
ABI menilai, waktu pemberlakuan pajak aset kripto terlalu cepat. Ini mengingat, calon pedagang fisik aset kripto harus mempersiapkan proses teknis pemotongan pajak, kemudian melakukan sosialisasi kepada pelanggan aset kripto yang menjadi pembayar pajak.
Pengenaan tarif juga harus lebih diperjelas. Sebab, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto telah menetapkan aset kripto sebagai komoditas yang dapat dijadikan subjek kontrak berjangka.
Namun, belum terdapat dasar peraturan yang jelas atas pengenaan tarif PPN pada jenis barang komoditi berjangka dengan klasifikasi aset tidak berwujud seperti aset kripto. Sehingga, asosiasi menilai bahwa kripto mestinya tidak diperlakukan sama dengan komoditas berjangka lainnya.
Kemudian, belum ada peraturan pemerintah yang sudah diperbaiki atau diperbaharui mengenai tarif PPh secara khusus pada komoditas berjangka ini.
Selain itu, asosiasi menilai tarif pajak yang dikenakan dapat mengurangi daya kompetitif pelaku usaha dalam negeri. Asosiasi khawatir, calon pelanggan dalam negeri lebih memilih bertransaksi menggunakan pedagang fisik aset kripto luar negeri yang tidak diawasi oleh Bappebti.
Guna mendorong pengaturan pajak yang lebih dapat dipatuhi oleh seluruh pemangku kepentingan, asosiasi tengah menyiapkan kajian mendalam terkait pajak aset kripto.
“Semoga ke depannya diiringi dengan kemudahan bagi kami dalam mengembangkan ekosistem ini," kata VP of Operations Upbit Indonesia Resna Raniadi
Sebelumnya, Kemenkeu menerapkan PPN serta PPH terhadap perdagangan aset kripto per 1 Mei. Tujuannya, memberikan kepastian hukum di masyarakat.
Pengenaan pajak atas transaksi kripto bukan hanya berlaku saat terjadi jual beli tetapi juga saat penukaran aset kripto antar-investor. Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Pasal 3 ayat (2), penyerahan aset kripto bisa berupa jual beli dengan mata uang fiat, tukar menukar aset kripto dengan aset kripto lainnya alias swap, dan tukar menukar antara aset kripto dengan barang selain kripto.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperkirakan, potensi penerimaan negara dari pengenaan pajak atas transaksi kripto lebih dari Rp 1 triliun. Potensi jumbo penerimaan tersebut bisa dioptimalkan untuk mempertebal bantuan sosial kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat kaya yang berinvestasi di kripto ini juga ikut berkontribusi ke negara.
Apalagi, transaksi kripto di Indonesia terus meningkat. Bappebti mencatat nilai transaksi pada tahun lalu Rp 859,4 triliun. Nilainya melonjak 1.222,8% dibandingkan tahun 2020 yang hanya Rp 64,9 triliun. Lonjakan mulai terlihat sejak memasuki kuartal kedua 2021.
Dalam dua bulan pertama tahun ini, nilai transaksi kripto juga sudah mencapai Rp 83,8 triliun. Ini lebih besar dibandingkan nilai transaksi untuk keseluruhan tahun lalu.