Limbah Batu Bara FABA untuk Bahan Bangunan Tekan Biaya Proyek 50%
Limbah abu pembakaran batu bara atau Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN kini telah digunakan sebagai material untuk membangun rumah, jalan, hingga jembatan. Pemanfaatan FABA dinilai bisa menekan biaya hingga 50% dibanding menggunakan material konvensional.
Saat ini FABA telah digunakan untuk membangun jalan sepanjang 18,8 kilometer (km), 2 jembatan, dan sekitar 3.000 pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) memanfaatkan FABA untuk berbagai keperluan.
Direktur Manajemen Sumber Daya Manusia PLN, Yusuf Didi Setiarto, menjelaskan untuk penanganan FABA menjadi salah satu upaya untuk mencapai target Carbon Neutral pada tahun 2060. Saat ini, abu pembakaran batu bara telah menjadi sumber daya ekonomi sirkuler untuk dioptimalkan bagi kemaslahatan bersama.
Usai pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, FABA dianggap bukan merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
"Melalui sinergi dengan BUMN, Pemda, TNI, Polri, dan masyarakat luas, kami bergotong royong memberi nilai tambah FABA bagi kebutuhan rakyat. Membangun jalan, rumah, sarana prasarana serta mendorong energi hijau untuk hidup yang lebih baik,” kata Yusuf dalam keterangan pers yang dikutip pada Rabu (31/8).
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sarwono Kusumaatmaja menilai positif langkah PLN yang melibatkan masyarakat dalam mengoptimalkan penggunaan FABA untuk beragam kebutuhan.
"Ekonomi sirkuler adalah kegiatan berlangsung melingkar di mana ketika satu produk tercipta dan menghasilkan limbah, maka limbah itu dimanfaatkan kembali untuk menciptakan produk lain. Dengan demikian kemajuan perusahaan dan jumlah lapangan kerja baru yang luar biasa akan tercipta," tutur Sarwono.
Deputi Bidang Pengkajian Strategik Lemhannas, Reni Mayerni, menyarankan perlu segera menggelar seminar nasional agar pemanfaatan FABA dilakukan masyarakat secara lebih luas dan masif.
Langkah ini dilakukan untuk mendorong ekonomi sirkuler dalam menunjang ekonomi hijau dan ketahanan pangan. Apalagi ke depan dengan semakin berkurangnya sumber daya alam maka pupuk berpotensi semakin langka.
“FABA sebagai alternatif pupuk ini perlu disosialisasikan ke petani secara luas. Ada abu atau debu kok bisa menjadi pupuk, terus bagaimana pemanfaatan lainnya selain untuk pupuk misalnya untuk pemberdayaan UMKM lainnya juga harus dipahami dan diterapkan oleh masyarakat,” kata Reni.
Meski demikian diduga ada risiko dari pemanfaatan debu batu bara menjadi bahan bangunan, seperti untuk campuran semen, membuat batako dan paving blok. Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetiyo mengatakan limbah batu bara ini dapat memicu gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan.
"Sebelum PP itu keluar, FABA sudah dimanfaatkan jadi bahan bangunan. Tapi karena aturan itu, pemanfataannya jadi lebih longgar. Limbah batu bara didekatkan ke masyarakat dengan dikemas lewat skema tanggung jawab perusahaan atau CSR yang diaplikasikan pada perumahan dan rumah ibadah," ujarnya Minggu (28/8).
Potensi penggunaan FABA pada proyek-proyek besar seperti jalan tol dan bandara juga juga memunculkan potensi bahaya yang sama. Terlebih jika proyek jalan tol itu berdekatan dengan permukiman warga.
Beberapa perusahaan yang mengolah FABA yaitu PT Bukit Asam dan PLTU Tanjung Jati B yang terletak di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Pada Juni 2022, PLTU milik PLN ini mereka mampu memproduksi 28 ribu keping paving block dan 9.600 keping batako.
Sebulan kemudian, perusahaan membuat 57.600 keping paving block. Rata-rata, dalam sehari PLTU Tanjung Jati B mampu membuat 2.400-2.800 paving block dan 750-800 keping batako. Pembuatan paving block dan batako memiliki komposisi bahan yang berbeda.
Komposisi paving block terdiri dari campuran 30% fly ash, 40% bottom ash, dan 30% semen. Sementara komposisi untuk membuat batako terdiri dari 40% fly ash, 30% bottom ash, dan 30% semen.