9 dari 10 Pengguna Real Estat Komersial Ingin Properti Hijau pada 2030

Rena Laila Wuri
18 April 2024, 18:03
Pekerja membersihkan dinding salah satu gedung bertingkat di kawasan SCBD, Jakarta, Kamis (21/9/2023). Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kontribusi industri properti terhadap PDB pada triwulan kedua 2023 tercatat sebesar 9,43 persen untuk s
ANTARA FOTO/Galih Pradipta/tom.
Pekerja membersihkan dinding salah satu gedung bertingkat di kawasan SCBD, Jakarta, Kamis (21/9/2023). Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kontribusi industri properti terhadap PDB pada triwulan kedua 2023 tercatat sebesar 9,43 persen untuk sektor konstruksi dan 2,40 persen untuk sektor real estate, meski sektor real estate masih menunjukkan penurunan sebesar 12,30 persen yoy namun penjualan rumah berukuran besar mengalami peningkatan sebesar 15,11 persen yoy.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Konsultan real estat global JLL mencatat 9 dari 10 pengguna real estat komersial di Asia Pasifik menginginkan portofolio yang 100% bersertifikasi hijau pada 2030. Akibatnya, terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan utuk bangunan berkelanjutan di kawasan tersebut.

“Ini akan mendorong persaingan ketat di antara pengguna untuk mendapatkan ruang hijau premium,” kata Kamya Miglani, Head of ESG Research, Asia Pacific, JLL dalam keterangan tertulisnya dikutip, Kamis (18/4).

Menurut survei yang dilakukan JLL, pengguna real estat yang menginginkan portofolio bersertifikasi hijau di 2030 permintaannya naik 4% dari saat ini. Misalnya di sejumlah negara seperti India, Malaysia, dan Thailand, sebanyak 95% penghuni menargetkan portofolio yang sepenuhnya bersertifikasi hijau.

Riset baru ini didasarkan pada Sustainability Offices City Index yang dirilis JLL pada Oktober 2023. Pada riset tersebut, mengevaluasi 20 kota di Asia Pasifik dalam empat hal: saham hijau, risiko fisik bangunan, daya saing kota, dan tingkat keproaktifan pemerintah kota terhadap target net zero emission (NZC).

Kamya Miglani mengatakan menyewa perkantoran di bangunan bersertifikat hijau bukan lagi sebuah hal yang berbeda. Ini merupakan kriteria minimum bagi sebagian besar penyewa di Asia Pasifik.

Selain itu, saat ini semakin banyak perusahaan yang mengadopsi strategi keberlanjutan seperti audit energi, penataan ruangan yang berkelanjutan, dan penyewaan hijau untuk mewujudkan tempat kerja yang berkelanjutan.

“Di masa depan, para penyewa mungkin akan menaikkan standar dan mulai meminta data kinerja bangunan dan keberlanjutan terlebih dulu daripada sertifikasi bangunan hijau untuk memastikan bahwa aset-aset ini sudah sesuai dengan tujuan NZC mereka,” ucapnya.

Pemanfaatan EBT di Bangunan Berkelanjutan Ikut Naik

Selain menginginkan bangunan berkelanjutan, pengguna real estat juga berharap kebutuhan energi mereka terpenuhi oleh energi terbarukan. Saat ini, banyak penghuni mengandalkan Sertifikat Energi Terbarukan (RECs) dan Perjanjian Pembelian Tenaga (PPAs) untuk pengadaan energi terbarukan.

“Sebanyak 74% responden mengharapkan setengah dari kebutuhan energi mereka akan terpenuhi oleh energi terbarukan, naik dari 9% saat ini,” hasil riset dari JLL.

Transisi ke energi terbarukan adalah langkah penting bagi industri properti untuk mendefinisikan kembali dan mengubah bangunan dari konsumen energi pasif menjadi kontributor aktif.

Salah satu caranya dengan menghasilkan energi terbarukan untuk kebutuhan sendiri. Kolaborasi antara pemilik properti dan penghuni akan sangat penting dalam memenuhi tuntutan bangunan berkelanjutan.




Reporter: Rena Laila Wuri

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...