Alasan Hutan Alami Tidak Bisa Digantikan oleh Lahan Kelapa Sawit
Presiden Prabowo Subianto berencana menambah bukaan lahan kebun sawit di dalam negeri untuk memenuhi permintaan dari luar negeri yang terus meningkat. Menurut Prabowo, sawit tidak membahayakan karena sama-sama menyerap karbondioksida seperti hutan.
"Katanya itu membahayakan, deforestasi. Namanya kelapa sawit itu ya pohon kan," kata Prabowo di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada Senin (30/12).
Prabowo mengatakan pohon kelapa sawit punya beragam sisi positif. Ia menyebut sawit sebagai media penyerap karbon dioksida (CO2). Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat luas area kebun kelapa sawit mencapai 16,8 juta hektare (ha) pada 2023. Kawasan tersebut bertambah sekitar 6 juta ha atau tumbuh 56,5% dibanding 2014.
Kementan menguraikan sekitar 50% perkebunan sawit di Indonesia merupakan perkebunan besar swasta dengan luasan hingga 8,4 juta ha. Selain itu, 37% atau 6,3 juta ha kebun sawit berstatus sebagai perkebunan rakyat.
Secara spasial, perkebunan sawit terluas berada di Riau dengan luasan mencapai 3,49 juta ha atau 20,8% dari total area sawit nasional. Provinsi lain yang perkebunan sawitnya tergolong luas adalah Kalimantan Tengah dengan 2,04 juta ha, Sumatera Utara 2,02 juta ha, dan Kalimantan Barat 1,83 juta ha.
Mengapa Hutan Alami Tidak Bisa Disamakan dengan Lahan Sawit?
Meskipun sama-sama pohon dan menyerap karbondioksida, pada kenyataannya fungsi hutan alami tidak bisa disamakan dengan lahan kelapa sawit. Berikut sejumlah alasan mengapa hutan alami Indonesia tidak bisa disamakan dengan lahan sawit:
1. Merusak Rumah Flora dan Fauna Indonesia
Hutan hujan Indonesia merupakan rumah bagi beberapa tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Dikutip dari ran.org, Indonesia memiliki wilayah hutan hujan terbesar ketiga di dunia setelah Amazon dan Cekungan Kongo di Afrika.
Hutan hujan Indonesia menampung 10 persen spesies tumbuhan yang diketahui di dunia, 17 persen spesies burung, dan 12 persen spesies mamalia – termasuk orangutan yang terancam punah dan harimau Sumatera serta badak yang terancam punah.
Perluasan lahan sawit akan menyebabkan habitat hewan tersebut terganggu dan secara cepat mendorong banyak spesies ke ambang kepunahan. Peningkatan konflik antara manusia dan satwa liar akan terjadi karena populasi hewan besar terdesak ke dalam habitat alami yang semakin terisolasi.
2. Hasilkan Emisi Karbon dan Polusi
Dikutip dari situs resmi Dewan Internasional Transportasi Bersih theicct.org, produksi minyak kelapa sawit berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon global. Mengonversi hutan rawa gambut menjadi perkebunan kelapa sawit melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca (GRK).
Hutan Indonesia diketahui menyimpan cadangan karbon yang besar, termasuk dari tanah gambut penuh bahan organik yang terakumulasi selama ribuan tahun. Pembukaan lahan sawit kerap mengeringkan tanah gambut tersebut sehingga menghasilkan emisi GRK yang besar.
Perubahan penggunaan lahan yang didorong oleh kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia telah mengeluarkan sekitar 500 juta ton CO2e setiap tahun, yang menyumbang 1,4% dari emisi CO2e global bersih. Ini hampir setinggi emisi global dari sektor penerbangan dan lebih dari total emisi GRK dari negara bagian California.
Produksi kelapa sawit juga berkontribusi terhadap polusi. Pabrik kelapa sawit menghasilkan 2,5 metrik ton limbah untuk setiap metrik ton minyak sawit yang diproduksinya. Pelepasan langsung limbah ini dapat menyebabkan polusi air tawar, yang memengaruhi keanekaragaman hayati dan masyarakat di hilir. Selain itu, penggunaan pestisida dan pupuk secara sembarangan dapat mencemari sumber air permukaan dan air tanah.
3. Konflik Sosial
Pembukaan lahan sawit yang dilakukan korporasi juga kerap menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar, termasuk masyarakat adat. Data Human Righst Watch (HRW) menyatakan Indonesia adalah rumah bagi sekitar lebih dari 2.330 komunitas adat.
"Perpaduan hukum yang lemah, diperburuk oleh pengawasan pemerintah yang buruk, dan kegagalan perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk memenuhi tanggung jawab uji tuntas hak asasi manusia mereka, telah mengakibatkan hilangnya lahan dan peluang mata pencaharian bagi masyarakat adat di Kalimantan Barat dan Jambi dalam proyek-proyek yang kami teliti," tulis laporan HRW dikutip Minggu (5/1).
Konflik yang terkait dengan lahan sering dikaitkan dengan perkebunan kelapa sawit. Indonesia memiliki sekitar 14 juta hektar lahan yang ditanami kelapa sawit. Tidak ada perkiraan yang jelas tentang jumlah sengketa lahan yang ada maupun jumlah rumah tangga yang telah dipindahkan atau kehilangan akses ke hutan dan tanah adat mereka, termasuk lahan pertanian, karena perluasan perkebunan kelapa sawit ke desa-desa mereka.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebuah LSM Indonesia, mendokumentasikan lebih dari 650 konflik terkait lahan yang memengaruhi lebih dari 650.000 rumah tangga pada 2017—tahun terakhir data yang tersedia untuk umum tersedia. Diperkirakan, rata-rata, ada hampir dua konflik terkait lahan setiap hari pada tahun itu.