Greenpeace Minta Pemerintah RI Setop Jadikan COP30 Panggung Performatif
Greenpeace meminta pemerintah Indonesia tidak menjadikan Konferensi Tingkat Tinggi Iklim COP30 di Belem, Brasil sebagai panggung performatif. Di tengah ancaman cuaca ekstrem dan banjir yang terus melanda berbagai wilayah Indonesia, Greenpeace menilai komitmen iklim pemerintah masih lemah dan sarat solusi palsu.
Greenpeace menyoroti pidato pertama Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, dalam Leaders Summit, yang digelar 6-7 November lalu.
"Pidato yang disampaikan Utusan Khusus Presiden Hashim Djojohadikusumo di COP30 penuh kontradiksi jika disandingkan dengan dokumen komitmen iklim Indonesia yang terbaru (Second NDC) dan situasi yang terjadi di Indonesia," ujar Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, dalam keterangan resmi, Sabtu (8/11).
Ia menyebut pemerintah justru memperburuk krisis iklim dengan pelbagai kebijakan yang merusak lingkungan, seperti keengganan untuk transisi ke energi terbarukan, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan monokultur, hingga rencana mengadopsi nuklir sebagai bagian dari transisi energi.
Dalam pidatonya, Hashim menyampaikan Indonesia tetap berkomitmen memperkuat komitmen iklim nasional dan siap bekerja sama dengan semua negara untuk menjalankan aksi-aksi iklim yang nyata, inklusif, dan ambisius. Ia mengakhiri pidatonya dengan menyebut Indonesia siap memimpin, bekerja sama, berkontribusi, dan mendukung semua program aksi iklim agar bisa terbangun dunia yang berketahanan iklim bagi semua orang.
Namun, Greenpeace melihat dalam pidato tersebut juga ada sejumlah rencana pemerintah yang menjadi solusi palsu dan tidak inklusif. Misalnya, kebijakan untuk mengurangi, bukan menghentikan penggunaan batu bara, jelas tidak sejalan dengan target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat seperti yang diinginkan Presiden Prabowo Subianto.
Sejumlah regulasi turunan lain di Indonesia juga masih memberi ruang pada energi fosil. Greenpeace mencontohkan pemanfaatan co-firing dan penambahan pembangkit gas lebih dari 10 GW yang tercantum dalam Rencana Umum Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Selain itu, kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) industri meningkat hingga 15 GW di Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) menjadi celah penambahan emisi yang lebih tinggi.
Hashim juga menyinggung soal target bauran energi terbarukan hingga 23% di 2030, pengembangan energi terbarukan dalam bauran energi nasional stagnan di 14,65%. "Keduanya jauh dari omon-omon Presiden Prabowo soal target 100% energi terbarukan di 2035," kata Leonard.
Penyusunan dokumen Second NDC pun berjalan sangat tertutup dan tanpa pelibatan bermakna dari publik. Pemerintah merombak target iklim demi memenuhi ambisi pertumbuhan ekonomi 8 persen, yang nyatanya masih bertumpu ke sektor ekstraktif.
Dampak Negatif Bioenergi pada Masyarakat Adat
Selain itu, Hashim juga menyinggung bahwa pemerintah Indonesia akan terus mengembangkan dan meningkatkan mandat biodiesel serta bioetanol. Pernyataan tersebut kian membuktikan pengabaian pemerintah terhadap suara masyarakat sipil yang selama ini telah membeberkan dampak buruk ambisi pengembangan bioenergi di Indonesia terhadap lingkungan maupun Masyarakat Adat, seperti yang terjadi di Papua.
“Saat Hashim sedang bicara tentang biodiesel dan bioetanol di COP30, Masyarakat Adat Papua tengah mengalami perampasan tanah dan hutan adat yang disasar proyek energi dan pangan pemerintah. Bapak Vincen Kwipalo, Masyarakat Adat Yei-Nan dari Merauke, misalnya, sampai harus jauh-jauh ke Jakarta melaporkan dugaan tindak pidana lingkungan hidup oleh perusahaan kebun tebu PT Murni Nusantara Mandiri,” ucap Khalisah Khalid, Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia.
Analisis Greenpeace menemukan, per September 2025, pembukaan lahan di area konsesi PT MNM mencapai 5.000 hektare. Hasil pemantauan satelit pun menunjukkan aktivitas pembukaan lahan masih terus berlangsung pada Oktober.
Poin lain yang disampaikan Hashim ialah dukungan Indonesia terhadap inisiatif Tropical Forest Forever Facility (TFFF) yang diluncurkan pada 6 November. Mengulang janji Prabowo saat bertemu Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva akhir Oktober lalu, Hashim berujar Indonesia akan berkontribusi sebesar US$ 1 miliar (Rp 16,7 triliun) untuk inisiatif tersebut.
“Hashim dan Presiden Prabowo harus ingat bahwa TFFF mengharuskan alokasi pendanaan 20% langsung untuk Masyarakat Adat. Ini jelas mensyaratkan bahwa harus ada pengakuan penuh dan efektif terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, salah satunya dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat," kata Rayhan Dudayev, Ketua Tim Politik untuk Kampanye Solusi Hutan Global Greenpeace yang hadir di Belém.
Ia menambahkan, jika pemerintah terus membiarkan atau bahkan menjadi pelaku yang merampas hak-hak Masyarakat Adat, sebesar apa pun kontribusi Indonesia di TFFF akan jadi performatif saja.
Greenpeace mencatat ada sejumlah hal signifikan yang perlu diperbaiki dari skema TFFF, khususnya dari aspek pelindungan lingkungan dan aspek keadilan distribusi pendanaan. Pada aspek pelindungan lingkungan, ambang batas tutupan hutan masih cukup rendah yakni sebesar 20-30% dari tutupan kanopi. Secara sains, angka ini mestinya minimal 50%.
Catatan lainnya adalah tentang pemantauan degradasi hutan dengan indikator minimum. Greenpeace juga menilai belum adanya ketentuan jelas untuk mencegah industri berisiko lingkungan terlibat dalam investasi pendanaan hutan tropis ini. Selain itu, perlu dibentuk sistem dan mekanisme akuntabilitas yang kuat serta model distribusi pendanaan yang tidak hanya masih mengutamakan pembayaran kembali kepada investor.
Jika poin-poin krusial ini tak dibenahi, tujuan dibentuknya TFFF tak akan tercapai. TFFF merupakan inisiatif sukarela yang bukan berasal dari negosiasi COP.
“Jika pemimpin dunia tidak berkomitmen untuk menghentikan deforestasi sampai 2030 sebagaimana direncanakan dua tahun lalu dalam COP28, COP30 ini bisa dikatakan gagal,” ujar Rayhan.
