Ambisi Membangun PLTS Terapung Raksasa Demi Capai Target Bauran Energi
Ambisi pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara mulai mendapat titik terang. Pada 17 Desember nanti PLN Bakal melakukan water breaking alias peletakan batu pertama di dalam air pada proyek berlokasi di Waduk Cirata, Jawa Barat tersebut.
Pengerjaannya merupakan kerja sama antara anak usaha PLN, yakni PT Pembangkit Jawa Bali alias PJB, dengan perusahaan asal Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, bernama Masdar. Kapasitas pembangkitnya mencapai 145 megawatt dengan harga listriknya US$ 8,5 sen per kilowatt jam (kWh).
Direktur Mega Proyek PLN Iksan Asaad mengatakan harga itu sudah efisien. “Ke depan, dengan semakin masifnya teknologi, kami harapkan bisa lebih rendah lagi,” katanya dikutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kamis (2/12).
Proyek ini termasuk dalam 11 perjanjian bisnis yang berhasil pemerintah teken dengan Uni Emirat Arab usai kunjungan Presiden Joko Widodo ke Abu Dhabi pada Januari lalu. Investasi PLTS terapung ini bakal mencapai US$ 18,8 miliar atau sekitar Rp 267 triliun dan mulai dibangun pada 2021 dengan waktu pengerjaan sekitar 1,5 tahun.
Lokasinya berdampingan dengan pembangkit listrik tenaga air atau PLTA yang kapasitasnya sempat terbesar juga di kawasan ASEAN, yaitu 1.008 megawatt. Namun, Vietnam saat ini yang memegang rekor itu dengan kapasitas PLTA di Bendungan So’n La sebesar 2.400 megawatt.
Nah, PLTS terapung pertama di Indonesia itu akan berada di area seluas 3% dari total Waduk Cirata, yaitu 9,02 hektare. PLN nantinya akan memiliki dua sumber energi terbarukan di satu wilayah yang sama. “Ini akan menjadi PLTS terapung terbesar di dunia,” kata Direktur Jenderal EBTKE Dadan Kusdiana.
PLTS yang berada di atas di air ini sedang menjadi tren energi baru terbarukan di dunia. Keunggulannya adalah pemanfaatan sumber energi lebih optimal, menghindari pemakaian lahan di tanah, melengkapi tenaga air atau hybrid, mengurangi penguapan, dan meningkatkan hasil energi hingga 10% karena suhu pembangkit yang lebih rendah.
Indonesia memiliki lebih dari 192 bendungan dan waduk dengan luas tangkapan 86.247 hektare. Pemanfaatanuntuk PLTS terapungnya dapat mencapai 4.300 megawatt, dengan asumsi pemakaian 5% dari daerah tangkapan air.
Sektor Kelistrikan Sumbang Besar Emisi Karbon
Pembangunan pembangkit energi bersih ini juga sejalan dengan keinginan pemerintah untuk melakukan bauran bahan bakar dalam rangka mengurangi emisi karbon. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028, target baurannya untuk pembangkit naik dua kali lipat, dari 11,4% pada 2019 menjadi 23,2% pada 2028.
Pemakaian bahan bakar fosil, seperti minyak dan batu bara, harapannya dapat menurun. Lalu, pembangkit-pembangkit energi baru terbarukan bertambah jumlahnya, seperti dari air, panas bumi, matahari, dan angin.
Merilis laporan Climate Transparency Report 2020, pembangkit listrik di Indonesia 63% berasal dari bahan bakar batu bara. Pertumbuhannya bahkan tertinggi dalam satu dekade terakhir. Gas alam berada di posisi berikutnya dengan kontribusi sebesar 18%.
Pemerintah terlalu banyak memberi subsidi kepada komoditas batu bara sehingga daya saing energi terbarukan rendah. Pertumbuhannya sepanjang tahun hanya 12%, lebih rendah dari rata-rata kelompok 20 negara dengan perekonomian terbesar dunia atau G20 yang berada di 27%.
Pembangkit energi bersih terbesar adalah air dengan kontribusi 6%. Lalu, panas bumi sebesar 5,5%. Tenaga surya dan angin masih sangat kecil, tapi persentasenya tumbuh dua kali lipat di 2018 dan 2019.
Kondisi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU yang banyak membuat kontribusi emisi karbon dari sektor kelistrikan cukup tinggi. Dalam satu kilowatt jam listrik menimbulkan emisi sebesar 804 gram karbon dioksida. Angka ini dua kali lipat dari rata-rata G20 di 449 gram karbon dioksida. Intensitas emisinya naik 10,1% dalam lima tahun terakhir karena peningkatan pemakaian PLTU.
Untuk mengurangi emisi dan mencapai target bauran energi, PLN bakal mengganti sejumlah pembangkit fosil tua dengan pembangkit energi terbarukan. Namun rencana tersebut masih menanti Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2021-2030 rampung terlebih dahulu.
Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu mengatakan pemerintah tengah menyiapkan RUPTL. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan masih membahasnya dengan PLN.
Targetnya, pada Januari tahun depan rencana usaha itu dapat mulai berlaku. "Masih dibahas. Mudah-mudahan Desember akhir ditandatangani," ujar Jisman kepada Katadata.co.id, Senin (7/12).
RUPTL Diharapkan Lebih Realistis
Direktur eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengharapkan agar RUPTL 2021-2030 lebih realistis, mengingat konsumsi listrik akibat pandemi cukup rendah. Pemerintah sebaiknya merevisi program pembangunan PLTU 35 ribu megawatt sehingga tidak memberatkan PLN.
Selain itu, perlu perubahan skema take or pay dan renegosiasi tarif produsen listrik swasta atau IPP yang telah berjalan. Tujuanya, agar pembangkit yang berbiaya tinggi seperti bahan bakar diesel alias PLTD dapat diganti dengan yang lebih ramah lingkungan.
Hal ini pun sesuai dengan amanat Rencana Umum Energi Nasional alias RUEN, yaitu target bauran energi pada 2025 adalah 23%. Apalagi, undang-undang EBT diprediksi bakal disahkan pada 2021 mendatang.
Ia berharap kondisi surplus listrik tidak membuat energi baru terbarukan kembali dikorbankan. Justru saat ini momen yang tepat untuk menghentikan pembangkit beremisi karbon tinggi. "Tantangan ke depan saya kira transisi energi fosil ke EBT," ujarnya.
PLN harus siap dengan perubahan itu. Misalnya, melalukan peningkatan keandalan dan pelayanan. Lalu, masalah tarif yang kerap menjadi masalah pengembangan energi terbarukan juga perlu segera diselesaikan.
Tak Mudah Genjot Pembangkit EBT
Guru besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa Mulyana mengatakan tak mudah menggenjot pembangkit energi baru terbarukan saat ini. PLN harus menaikkan sisi permintaan dulu karena kondisi pembangkit di banyak tempat telah kelebihan pasokan atau over supply.
Tantangan lainnya adalah stabilitas sistem. Mayoritas energi terbarukan bahan bakarnya tidak berkesinambungan, seperti matahari yang tidak muncul 24 jam dalam sehari. Sifatnya yang intermitten ini bakal semakin rumit apabila kendaraan listrik dan kompor induksi semakain banyak dipakai masyarakat. “Sedangkan pembangunan pembangkitnya masih berkutat dalam pembiayaan karena butuh dana yang besar,” ujar Iwa.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi memproyeksikan kondisi surplus listrik masih akan terjadi pada tahun depan. Kenaikannya baru terjadi lima tahun lagi ketika sektor industri mulai pulih setelah tertekan pandemi Covid-19.
Dengan proyeksi tersebut, pembangunan pembangkit listrik EBT harus tetap dilakukan sehingga tidak terjadi defisit kebutuhan listrik. Yang perlu diperbaiki sekarang adalah bagaimana agar harga keekonomiannya tidak lebih mahal daripada energi fosil. Pemerintah perlu memberi insentif untuk mewujudkan hal tersebut.
PLN sedang berupaya meningkatkan penggunaan energi terbarukan dalam penyediaan listrik. Porsi EBT dalam bauran energinya naik dari 10,7% pada 2015 menjadi 14,2% pada September 2020.
Berbagai program dijalankan untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi bersih. Misalnya, mendorong konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) ke EBT. Tahap pertama dilangsungkan di 200 lokasi dengan kapasitas total 225 mega watt (MW) yang ditargetkan beroperasi pada 2023.
Selain itu, PLN juga mengoptimalkan pemanfaatan energi matahari dengan pengembangan solar photovoltaic (PV) melalui pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Saat ini sudah ada 136 PLTS dengan kapasitas 78,3 MW.
Executive Vice President Corporate Communication and CSR PLN Agung Murdifi sebelumnya mengatakan dengan substitusi pembangkit, Indonesia tidak perlu lagi mengandalkan bahan bakar minyak atau BBM, yang mayoritas produk impor. “Sejalan pula dengan program pemerintah untuk menghadirkan listrik merata sampai ke pelosok," ujarnya beberapa waktu lalu.
Penentuan konversi pembangkit akan menyesuaikan hasil pemetaan potensi sumber energi terbarukan yang ada di lokasi. Untuk daerah terpencil paling potensial adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan biomassa.
Soal anggaran, PLN berhitung program konversi ini butuh dana Rp 100 triliun. Perusahaan setrum negara ini bakal menggandeng Bank Pembangunan Asia alias ADB.
Direktur Mega Proyek PLN Ikhsan Asaad mengakui cukup mudah mendapatkan dana pembangkit EBT ketimbang energi fosil. Pasalnya, gerakan untuk mengurangi bahan bakar fosil demi mencegah perubahan iklim sudah masuk skala global.