Peluang Bisnis Baterai Tumbuh Pesat di Era Mobil Listrik
Industri baterai listrik akan tumbuh pesat. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan permintaannya akan tumbuh empat kali lipat dalam beberapa tahun ke depan.
Kondisi itu dipicu dari semakin banyak negara di dunia yang mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan menurunkan emisi karbon. “Penggunaan kendaraan listrik akan naik 15% sampai 100% dari total mobil yang beredar,” ujarnya dalam keterangan pers secara virtual, Rabu (30/12).
Merujuk riset McKinsey pada September lalu, Tiongkok akan menjadi penggerak utama pasar kendaraan listrik atau EV dunia. Posisi berikutnya adalah Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pandemi Covid-19 menjadi momentum utama transisi industri otomotif dari bahan bakar fosil ke baterai.
The Economist Intelligence Unit (EIU) memprediksi penjualan mobil listrik tahun ini akan mencapai jutaan unit. Dalam laporannya berjudul Industries in 2020, Tiongkok akan menjadi pasar terbesar mobil listrik dunia, dengan total 1,39 juta unit yang akan terjual, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.
Di Indonesia, pemerintah pun memasang target ambisius untuk penerapan EV. Angkanya mencapai 4 juta unit mobil listrik dan 10 juta unit motor listrik di 2035. Sebelum itu tercapai, emisi karbon akan turun 29% di 2030.
Dengan kondisi pasar yang akan tumbuh tersebut, Bahlil melihat industri baterai akan terdorong. Komponen ini berkontribusi 40% hingga 50% dari biaya total kendaraan listrik.
Indonesia memiliki potensi besar untuk menggarapnya karena memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Nikel merupakan salah satu bahan baku utama pembuatan baterai listrik.
Eropa Kejar Asia dalam Industri Baterai
Laporan Deloitte berjudul 2021 Renewable Energy Industry Outlook menyebutkan bisnis baterai atau penyimpanan energi menjadi industri yang tumbuh paling cepat di sektor energi. Biaya yang turun dan teknologi semakin canggih membuat daya simpan lebih banyak dan ekonomis.
Tak cuma untuk menghidupkan kendaraan. Kehadiran baterai juga akan mendorong pemakaian pembangkit listrik energi terbarukan, seperti tenaga matahari atau PLTS serta angin atau PLTB.
Sektor ketenagalistrikan semakin mencari cara penyimpanan energi untuk memenuhi kekurangan kapasitas listrik karena pembangkit energi terbarukan sifatnya intermittent. Sifat ini ada pada pembangkit surya dan angin, yaitu energi primernya hanya diperoleh pada waktu tertentu.
Komisi Uni Eropa dalam laporannya berjudul Batteries Europe pada awal bulan ini mengatakan total permintaan baterai global akan mencapai hampir seribu gigawatt hour (GWh) per tahun pada 2025. Angkanya Bakal lebih dari 2.600 gigawatt hour pada 2030.
Permintaanya di Eropa akan melampaui 200 gigawatt hour pada 2023 dan mencapai 400 gigawatt hour di 2028. Peningkatan itu akan menciptakan tiga juta hingga 4 juta pekerjaan di Benua Biru.
Kawasan itu jauh tertinggal di belakang Asia dalam hal manufaktur sel baterai lithium-ion. Saat ini 90% produksi dunia berada di Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang.
Namun, Eropa berambisi mengejar ketertinggalan itu dalam satu dekade ke depan. Pada 2022, kapasitas produksi globalnya akan naik 8% sehingga dapat melayani 7% sampai 25% permintaan dunia pada 2028.
Geliat Bisnis Baterai di Indonesia
Indonesia pun sedang melakukan langkah serupa. Konsorsium badan usaha milik negara atau BUMN, terdiri dari MIND ID (Inalum), PLN, dan Pertamina akan membentuk bisnis baterai dari hulu hingga hilir bernama Indonesia Holding Battery.
Salah satu produsen baterai terbesar dunia asal Tiongkok, Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL), bakal menggelontorkan investasi senilai US$ 5 miliar atau sekitar Rp 71 triliun ke Indonesia. Dana ini untuk merealisasikan pembangunan pabrik baterai lithium-ion.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengatakan pabrik tersebut ditargetkan dapat mulai beroperasi pada tahun 2024. CATL telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Anak usaha MIND ID, yaitu PT Aneka Tambang (Persero) Tbk alias Antam.
Perusahaan pelat merah ini akan memasok bahan baku pembuatan baterainya. Sebagai gantinya, CATL memastikan 60% proses pemurnian nikelnya, bahan baku baterai, dikerjakan di Indonesia. “Kami tidak mau mereka dapat nikel tapi prosesnya di luar negeri,” kata Septian pada 15 Desember lalu.
Lalu, LG Energy Solution akan berinvestasi sebesar US$ 9,8 miliar dalam proyek tersebut. Nilai penanaman modal itu sekitar Rp 138 triliun dengan kurs Rp 14.083 per dolar AS. “Belum pernah ada investasi pasca-Reformasi sebesar ini,” kata Bahlil.
LG Energi Solution tidak sendiri masuk ke Indonesia. Ada beberapa perusahaan terlibat, termasuk Hyundai. Dengan begitu, pemerintah menargetkan pembangunan pabrik baterai lithium-ion tersebut akan terintegrasi dari hulu hingga hilir. “Ini pertama di dunia, ada tambang, smelter (pabrik pemurnian), produksi baterai, mobil listrik, hingga recycle-nya,” ujarnya.
Lokasinya akan terbagi dua. Untuk hulu, yaitu tambang dan smelter, di Maluku Utara. “Di tambang nikel Antam (Aneka Tambang),” kata Bahlil. Rencana peletakan batu pertamanya akan berlangsung pada semester pertama 2021.
Di sektor hilirnya, yaitu pabrik baterai dan recycle, akan berada di Kawasan Industri Batang, Jawa Tengah. Untuk pabrik mobil listrik telah Hyundai bangun di Kawasan Industri Cikarang, Jawa Barat. Perusahaan akan mulai memproduksi kendaraan ramah lingkungan itu pada tahun depan.