Jatam Soroti Eksploitasi Komoditas Tambang Berbalut Slogan Hijau
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) merilis catatan akhir tahun 2020 dan proyeksi di 2021. Salah satu yang mendapat sorotan mengenai slogan hijau untuk mengusung ekstraktivisme baru.
Ekstraktivisme tersebut menjadi celah untuk mengeksploitasi nikel, lithium, dan kobalt demi proyek baterai kendaraan listrik. Ada pula program gasifikasi yang berpotensi meningkatkan penambangan batu bara.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah mengatakan slogan pemulihan hijau patut diwaspadai. Pasalnya, banyak ditunggangi para oligarki dengan mengusung model ekonomi rendah karbon.
Padahal yang terjadi sebaliknya. Ia menyebut di balik proyek baterai mobil listrik merupakan rantai penderitaan dan perusakan lingkungan yang berimbas pada krisis iklim. "Ke depan jadi ruang bancakan baru bagi oligarki ekstraktivisme hijau," ujarnya, Jumat (29/1).
Penambangan nikel akan menyebar ke Indonesia bagian timur. Daerah ini telah dikuasai penambang komoditas itu. Pemerintah juga sedang membangun dua pusat industri, yakni Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah dan Indonesia Weda Bay Industrial Park di Halmahera, Maluku Utara.
Bersamaan dengan hal itu, Jatam juga melihat adanya mobilisasi penggunaan batu bara untuk kebutuhan 29 pabrik pemurnian atau smelter nikel. Barang tambang ini nantinya untuk bahan bakar pembangkit listrik di pabrik.
Perkiraan Jatam, mobilisasi itu mencapai 4.200 megawatt ke industri pengolahan dan pemurnian nikel. "Pembuangan limbahnya akan menjadikan perairan Morowali dan juga Pulau Obi seperti toilet," ucap Merah.
Banyak Lubang Tambang Tak Direklamasi
Jatam juga menyoroti maraknya lubang tambang yang tidak direklamasi. Berdasarkan catatan Jatam, setidaknya ada sebanyak 3.092 lubang tambang dalam kondisi ini pada 2020.
Di wilayah Aceh ada enam lubang tambang tidak direklamasi, Sumatera Barat 22 lubang, Bengkulu 54 lubang, Lampung sembilan lubang, dan Riau 19 lubang tambang. Kemudian, Jambi 59 lubang tambang, Sumatera Selatan berjumlah 163, dan Banten dua lubang tambang.
Sedangkan di wilayah Kalimantan, yakni Kalimantan Tengah 163 lubang tambang, Kalimantan Utara berjumlah 44 lubang, Kalimantan selatan berjumlah 814 lubang, Kalimantan Timur berjumlah 1.735 lubang dan Sulawesi Selatan berjumlah dua lubang.
Tidak tereklamasinya lubang bekas galian tambang menyebabkan masalah besar. Contoh konkret adalah banjir besar di Kalimantan Selatan pada bulan ini.
Jatam berpendapat di bagian hulu dan kawasan hutan Kalsel yang amburadul menjadi penyebab utama banjir. “Lahan itu dialihfungsikan untuk tambang yang menyebabkan daya serap air berkurang drastis,” kata Kepala Kampanye Jatam Melky Nahar pada Senin lalu.
Jaringan organisasi non-pemerintah itu menemukan sejumlah daerah aliran sungai atau DAS Sungai Barito telah dibebani izin dan aktivitas tambang, terutama batu bara. Para perusahaan sebenarnya memiliki kewajiban melakukan reklamasi lahan bekas tambang, tapi realisasinya jauh dari harapan.
Misalnya, dari total 814 lumbang tambang di provinsi itu, menurut data pemerintah daerah setempat, baru 6 ribu hektare yang direklamasi. Jumlah itu pun lebih sedikit dari luasan tambang di sana yang pada 2016 mencapai 1,2 juta hektare. “Pemda dan pemerintah pusat bahkan tak berani membuka data soal perusahaan apa saja yang tidak melakukan reklamasi,” uarnya.