Komitmen Pemerintah untuk Dorong Energi Baru Dipertanyakan
Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia hingga kini masih terbilang cukup rendah. Terbukti dari realisasi bauran EBT yang pada 2020 baru mencapai 11%. Padahal pemerintah menargetkan bauran EBT di sektor energi sebesar 23% pada 2025.
Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menilai transisi energi fosil ke energi terbarukan di Indonesia perlu political will dan kerja ekstra. Bauran energi fosil yang mencapai 70% lebih dari total energi primer, dengan EBT yang hanya di kisaran 9% harus segera ditingkatkan secara bertahap.
"Setiap penugasan dari pemerintah kepada PLN idealnya difokuskan pada pengembangan EBT. Jika ada komitmen jelas dari PLN maka pemain swasta pun akan tertarik berinvestasi di sektor EBT," ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (3/6).
Simak target bauran energi Indonesia pada databoks berikut:
Di samping itu, devisa dari sektor batu bara saat ini cukup tinggi dan sedikit menjadi penghambat pengembangan transisi energi. Namun selama ini uang hasil penjualan tersebut sebagian disimpan di bank luar negeri, dan dana yang berputar di Indonesia masih sedikit dikonversi ke rupiah.
"Artinya meski dari devisa penyumbang besar, tapi kebermanfaatan bagi likuiditas rupiah di dalam negeri masih terus diperdebatkan. Buktinya BI keluarkan berbagai insentif untuk menarik DHE (devisa hasil ekspor) sehingga cepat dikonversi ke rupiah," ujar Bhima.
Oleh karena itu, Bhima menilai seharusnya pemerintah tak perlu silau dengan sumbangan devisa jangka pendek dari sektor batu bara. Pasalnya, ketika negara tujuan ekspor mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, maka hal itu tak lagi menjadi istimewa.
Menteri BUMN Erick Thohir sebelumnya mengatakan proyek energi terbarukan memerlukan uang, dan sinkronisasi pemanfaatan energi fosil, yang selama ini dinikmati Indonesia, dengan proyek energi bersih agar tidak terjadi konflik.
Menurut Erick pengoperasian pembangkit energi fosil tidak bisa dihentikan seketika. Namun harus terjadwal dan berdasarkan peta jalan yang telah disusun oleh pemerintah.
"Oh yang itu dimatikan nggak bisa, oh yang di situ tiga tahun lagi harus mati, karena tiga tahun lagi harus mati maka kita harus bangun energi terbarukan. Ini yang harus disinkronkan, ngga bisa langsung mati," ujar Erick dikutip dari Antara.
Dia mengatakan Indonesia saat ini memerlukan dukungan pendanaan dari penjualan sawit dan batu bara dalam bentuk devisa. Terutama untuk membangun pembangit EBT di dalam negeri. Namun kelapa sawit diembargo banyak negara karena dianggap menjadi penyebab penyusutan hutan tropis.
Selain itu komitmen berbagai negara di dunia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca melalui upaya mengurangi konsumsi batu bara juga turut berdampak terhadap ekspor batu bara Indonesia.