Bakal Luncurkan Pertamax Green Bioetanol, Pemerintah Punya PR Besar
Pemerintah dinilai memiliki pekerjaan rumah besar untuk meningkatkan keanekaragaman sumber bahan bakar nabati (BBN) seiring dengan rencana peluncuran Pertamax Green yang merupakan campuran Pertamax dengan bioetanol berbahan dasar tetes tebu.
Apalagi dalam Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050, pemerintah menargetkan BBN atau biofuel menyumbang 46% dari total energi di sektor transportasi pada 2050.
Deputi Direktur Eksekutif Masyarakat dan Alam Indonesia (MADANI) Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto mengatakan peluncuran Pertamax Green dapat membawa Indonesia satu langkah lebih dekat dengan transisi energi dan kemandirian energi jika ditindaklanjuti dengan penganekaragaman sumber biofuel.
“Campuran energi berkelanjutan Indonesia masih perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, inovasi berbahan dasar tetes tebu ini bisa dilihat sebagai langkah kecil awal menuju pemanfaatan sumber-sumber bahan bakar berkelanjutan lainnya, terutama yang berasal dari residu atau limbah,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (19/7).
Seperti diketahui, Pertamina akan mulai mengedarkan secara terbatas Pertamax Green yang merupakan campuran Pertamax dengan bioetanol E5 pada Juli ini. Bioetanol berbahan dasar molase atau tetes tebu yang merupakan produk sampingan atau sisa dari proses pembuatan gula.
Ini bukan kali pertama Pertamina membaurkan bahan bakar fosil dengan bahan bakar nabati. Sejak 2008, Pertamina telah mencampurkan solar dengan biodiesel dari minyak sawit yang baurannya saat ini diwajibkan sebesar 35%.
Sampai saat ini, minyak sawit adalah satu-satunya bahan baku BBN yang pemanfaatannya mendapatkan mandat dan insentif dari pemerintah. Namun Indrarto menilai ekspansi perkebunan sawit masih memiliki risiko sosial dan lingkungan.
“Oleh karena itu, selagi terus memperbaiki tata kelola sawit, pemerintah juga perlu mengoptimalkan penggunaan aneka sumber bahan baku dalam pengembangan BBN generasi kedua, yang berasal dari sampah atau limbah,” ujarnya.
Dia juga menambahkan sumber-sumber lain tersebut bisa berupa minyak jelantah, tongkol jagung, tetes tebu seperti yang digunakan Pertamax Green, limbah-limbah pertanian, dan sumber-sumber lainnya.
Indrarto juga menekankan bahwa diversifikasi atau penganekaragaman sumber bahan bakar sejalan dengan target Indonesia untuk beralih kepada energi berkelanjutan dalam rangka mengurangi emisi, seperti target dalam LTS-LCCR 2050.
“Pencapaian target LTS-LCCR 2050 tersebut memerlukan andil berbagai bahan baku agar Indonesia tidak bergantung kepada minyak sawit saja. Karena ketergantungan berlebihan terhadap satu bahan baku memiliki banyak risiko dari sisi ekonomi, sosial dan ekologi,” kata dia.
Selain mendukung transisi energi, Indrarto juga menyoroti keunggulan lain dari diversifikasi bahan baku BBN, yakni mendukung kemandirian energi. Menurut dia diversifikasi bahan baku BBN merupakan upaya memaksimalkan sumber daya energi domestik yang kemudian bisa memberikan stimulus bagi perekonomian di berbagai daerah.
“Perlu diingat, berbagai daerah di Indonesia memiliki potensi sumber BBN yang berbeda-beda yang patut, tetapi belum, dikembangkan,” ujarnya.