Bos OJK: EBT Tak Mungkin Gantikan Bahan Bakar Fosil dalam Waktu Dekat
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menilai transisi energi menuju penggunaan energi baru terbarukan atau EBT harus dilakukan dengan hati-hati dan pada waktu yang tepat, serta harus tetap memperhatikan aspek keamanan energi.
“Sangat penting bahwa aspek keamanan energi diperhatikan dalam transisi energi. Tidak realistis untuk mengharapkan energi terbarukan menggantikan bahan bakar fosil dalam jangka pendek,“ ujarnya saat membuka diskusi Save the Planet: Role of Financial Sector to Support Carbon Reduction and EV Development, Senin (25/9).
Dia menjelaskan bahwa banyak pemerintah dan negara yang telah menempuh jalan yang ekstrim namun pada akhirnya memutar balik komitmennya dalam net zero emission (NZE) dan pengembangan energi terbarukan.
Menurut Mahendra EBT tidak mampu menggantikan energi fosil dalam jangka pendek lantaran beberapa aspek, seperti kurangnya infrastruktur dan ketidakmampuan untuk menyediakan faktor beban yang diperlukan.
Apalagi, teknologi untuk mendorong transisi energi kerap kali membutuhkan kapital yang sangat besar namun produktivitasnya rendah. Beberapa negara bahkan tidak memiliki pendanaan yang cukup. “Akibatnya, beberapa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu baru dibuka kembali di Eropa,” kata dia.
Kendala lainnya yaitu kurangnya pendanaan untuk proyek-proyek hijau yang saat ini masih belum memberikan keuntungan. Dia mengungkapkan bahwa hal ini terjadi pada Inggris yang belum lama ini merevisi kebijakan hijaunya, salah satunya terkait penundaan pelarangan kendaraan berbahan bakar minyak.
Oleh karena itu, dia mengatakan agar Indonesia berhasil dalam mengembangkan ekonomi hijau dan beralih ke energi yang lebih bersih, maka pemerintah perlu meneliti lebih cermat terkait kesimbangan dan waktu yang dibutuhkan dalam proses transisi tersebut. “Kita harus fokus pada penelitian berbasis bukti,” kata dia.
Mehendra menjelaskan, penelitian berbasis bukti tersebut bisa dilakukan untuk mencari tahu terkait pemilihan energi terbarukan yang tepat di Indonesia. Dia mencohtohkan, dalam penilitian itu bisa membuktikan apakah energi angin atau pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), sudah layak atau belum untuk diterapkan di Indonesia.
“Misalnya, jika muncul rasa khawatir bahwa penerapan energi angin mungkin bukan sumber yang layak untuk Indonesia, karena investasi tinggi, atau produktivitas rendah itu bisa kita ketahui. Jadi penelitian berbasis bukti dan faktual sangatlah penting,” kata dia.
Selain itu, contoh lainnya yaitu pada implementasi kendaraan listrik yang bergantung pada penambangan mineral penting. Pengisian daya kendaraan listrik saat ini juga masih bergantung pada listrik yang bersumber dari energi fosil karena alternatif lainnya yang masih lebih mahal akan menghambat pengembangan kendaraan listrik.
“Terkait ini, targeted financing harus mencakup proses di hulu dan hilir. Kita bisa memberikan reward terhadap penambangan yang mampu memberikan hasil dalam Sustainable Development Goals (SDGs) dan mendukung industri hilir. Kita harus memastikan ekonomi hijau Indonesia berbasis investasi yang bankable,“ ujarnya.