Rapor Merah COP28, Beri Ruang Bahan Bakar Fosil hingga Nuklir

Tia Dwitiani Komalasari
15 Desember 2023, 06:00
Aktivis lingkungan dari berbagai negara melakukan unjuk rasa saat berlangsungnya konferensi perubahan iklim COP28 UNFCCC di Dubai, Uni Emirat Arab, Jumat (8/12/2023). Mereka menuntut diakhirinya penggunaan bahan bakar fosil karena telah menjadi penyebab u
ANTARA FOTO/R. Rekotomo/Spt.
Aktivis lingkungan dari berbagai negara melakukan unjuk rasa saat berlangsungnya konferensi perubahan iklim COP28 UNFCCC di Dubai, Uni Emirat Arab, Jumat (8/12/2023). Mereka menuntut diakhirinya penggunaan bahan bakar fosil karena telah menjadi penyebab utama terjadinya perubahan iklim di dunia.

Untuk memastikan solusi iklim yang adil dan berkelanjutan, seluruh pihak termasuk pemerintah daerah dan masyarakat rentan harus dilibatkan secara bermakna. Namun demikian, negara tidak boleh angkat tangan dalam menyelesaikan situasi krisis iklim.

“Pertanyaan paling mendasar adalah siapa pihak yang seharusnya beradaptasi terhadap situasi krisis hari ini? Mereka adalah pemerintah dan korporasi, sebab kebijakan, program serta keputusan politik yang mereka hasilkan justru menghancurkan daya adaptif rakyat, dan aksi mitigasi yang selama ini mereka lakukan,” lanjut kata Uli.

Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, Torry Kuswardono, mengatakan, COP-28 menghasilkan satu keputusan penting terkait dampak krisis iklim yaitu operasionalisasi pendanaan untuk mengatasi Kehancuran dan Kerusakan atau Loss and Damage. Namun, prosesnya belum memberikan kepastian bagi mereka yang telah mengalami Kehancuran dan Kerusakan.

"Hal ini menunjukkan masih curamnya jalan menuju keadilan iklim,” ujar Torry.

Sementara itu Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan, Nadia Hadad, mengatakan klaim keberhasilan Indonesia menurunkan emisi sebesar 42% seharusnya menjadikan negara ini lebih berani dan tegas dalam menangani krisis iklim.

"Di antaranya dengan meningkatkan ambisi kontribusi nasional dalam NDC Kedua sesuai target 1,5C,” ujar Nadia.

Dia mengatakan, hasil perundingan di Dubai ini memperkuat bukti bahwa negara-negara maju gagal menunjukkan kepemimpinan dalam upaya mengatasi krisis iklim global.

“Oleh karena itu, sudah saatnya negara-negara berkembang, miskin, dan terdampak merebut kepemimpinan negosiasi iklim dan bersuara lebih keras menuntut negara-negara maju memenuhi kewajiban mereka dalam mengurangi emisi GRK, membantu negara-negara berkembang dalam hal beradaptasi, maupun mengatasi Loss and Damage akibat krisis iklim,” kata Nadia.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...