Punya Potensi Jumbo, Panas Bumi Belum Jadi Prioritas EBT di Indonesia

Image title
13 Juni 2024, 12:19
Petani beraktivitas di sekitar sumur produksi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (6/9/2022). Proyek PLTP Dieng 2 berkapasitas 55 MW merupa
ANTARA FOTO/Anis Efizudin/tom.
Petani beraktivitas di sekitar sumur produksi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (6/9/2022). Proyek PLTP Dieng 2 berkapasitas 55 MW merupakan salah satu Proyek Strartegis Nasional (PSN) dan masuk dalam Fast Track Program (FTP) tahap II 10.000 MW dari program 35.000 MW pada sektor pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan pemerintah.
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sangat besar. Namun, potensi panas bumi tersebut belum jadi priroitas untuk dikembangkan di Indonesia.

Hal itu terlihat dari dokumen kebijakan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) pada 2021 - 2030. Dokumen tersebut menetapkan target tambahan pembangkit energi baru dan energi terbarukan (EBET) sampai 2030 adalah 20,9 GW.

Dalam dokumen tersebut, sekitar 66% dari target tambahan kapasitas tersebut akan berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) masing-masing sebesar 9,2 GW dan 4,6 GW.   Sementara kapasitas pembangkit panas bumi direncanakan hanya akan bertambah sekitar 3,4 GW atau 16% dari total tambahan pembangkit EBET.

Pembangkit panas bumi juga tidak menjadi prioritas dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). Penambahan kapasitas pembangkit EBET dalam dokumen KEN difokuskan pada pembangkit bioenergi, PLTA dan PLTS.

Sampai dengan 2050, kapasitas pembangkit dari ketiganya ditargetkan masing – masing sebesar 26 GW, 38 GW dan 45 GW. Sementara pada periode yang sama kapasitas pembangkit listrik panas bumi ditargetkan sebesar 17,5 GW.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menilai rendahnya pemanfaatan energi panas bumi sebagai prioritas dalam pelaksanaan transisi energi karena adanya sejumlah kendala dalam pengembangan dan pengusahaannya.

 Berdasarkan kajiannya, terdapat setidaknya enam risiko yang harus dihadapi oleh pengembang dalam pengusahaan panas bumi di Indonesia.

Risiko tersebut adalah kegagalan eksplorasi, risiko finansial akibat tata waktu dan struktur pasar dalam industri panas bumi, serta hambatan regulasi dan tatakelola seperti tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), perizinan, kepemilikan aset, serta ketidaksesuaian insentif pemerintah dengan kebutuhan pengembang.

Selain itu terdapat juga risiko kebutuhan modal awal yang cukup besar, durasi pengembangan relatif lama; dan lokasi geografis sumber daya panas bumi di daerah terpencil.

"Sejumlah kendala tersebut menjadi penyebab harga jual listrik panas bumi di Indonesia dinilai masih cukup relatif mahal," tulisnya dalam riset yang dikeluarkan oleh Reforminer Institute dengan judul "Peran Penting Industri Panas Bumi dalam Kebijakan Transisi, Ketahanan Energi dan Ekonomi Nasional.+" dikutip Kamis (13/6).

Laporan tersebut menyebutkan permasalahan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di negara yang lain pada dasarnya juga relatif sama dengan permasalahan yang dihadapi di Indonesia. Akan tetapi, dengan terobosan kebijakan yang dilakukan, sejumlah negara tercatat berhasil mendorong harga listrik panas bumi menjadi kompetitif bahkan lebih murah dari rata-rata BPP listrik nasional negara yang bersangkutan.

"Diantara negara yang tercatat telah berhasil adalah Amerika Serikat, Kenya, Iceland, New Zealand, dan Mexico," tulisnya.

Kenya dan Islandia tercatat sebagai negara yang cukup serius dalam mengembangkan dan mengusahakan energi panas bumi. Porsi produksi listrik panas bumi dari Kenya dan Islandia pada 2023 masing-masing mencapai 29% dan 26% dari total produksi listrik mereka.

Sementara porsi EBT dalam bauran produksi listrik Kenya dan Iceland pada tahun 2023 masing-masing adalah 80% dan 96% terhadap total produksi listrik nasional mereka.

Filipina juga tercatat menjadi negara yang cukup serius dalam pengembangan dan pengusahaan energi panas bumi. Perkembangan listrik panas bumi di negara tersebut cukup signifikan, meskipun harga listrik panas bumi di Filipina tercatat masih lebih tinggi dari rata-rata BPP listrik nasional, 

Kapasitas terpasang listrik panas bumi Filipina pada 2023 dilaporkan mencapai 48% dari total sumber daya panas bumi yang mereka miliki. Berbeda dengan Kenya dan Islandia, sekitar 74% listrik Filipina diproduksikan dari pembangkit berbasis fosil, 43% diantaranya dari PLTU.

Komaidi mengatakan,  terobosan kebijakan dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi perlu dilakukan oleh para stakeholder pengambil kebijakan. Hal itu mengingat ketersediaan sumber daya yang besar dan sejumlah potensi manfaat yang akan diperoleh, memformulasikan dan mengimplementasikan

"Sejumlah terobosan kebijakan yang dilakukan oleh Kenya, Islandia, dan Filipina yang telah terbukti berhasil meningkatkan pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi pada masing-masing negara tersebut kiranya dapat dijadikan sebagai lesson learned untuk pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia," tulisnya.

Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...