RUU EBET Terbengkalai, Pembahasan Rapat DPR Didominasi Isu Migas dan Minerba
Laporan Indonesian Parliamentary Center (IPC) bertajuk Komisi VII DPR RI dan Transisi Energi: Antara Komitmen dan Realita menunjukan isu minyak dan gas (migas) serta mineral dan batubara (minerba) mendominasi lebih dari 50% topik pembahasan dalam rapat-rapat Komisi VII DPR RI periode 2019-2024. Kurangnya keberpihakan Komisi VII DPDPR tersebut berkontribusi pada tidak kunjung disahkannya Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) di periode tersebut.
Berdasarkan laporan yang sama, percakapan tentang transisi energi di Komisi VII DPR tercatat hanya 10%. Selain itu, kementerian dan perusahaan yang mengurusi sektor migas dan minerba, lebih sering menjadi mitra rapat, sehingga mempengaruhi keputusan dan arah kebijakan yang dirancang Komisi VII.
“Dari 159 perusahaan yang diundang rapat, 37% di antaranya sektor minerba dan 15% sektor migas, yang menunjukkan kekuatan berlebih dari eksekutif dan pengusaha dalam proses pengambilan keputusan,” ujar peneliti IPC, Johan Mahesa, dalam keterangan tertulis, Kamis (17/10).
Menurut Johan, kondisi tersebut berbanding terbalik dengan cita-cita Indonesia dalam mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 dengan mendorong adanya transisi energi. Padahal, RUU EBET menjadi salah satu prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019-2024 yang harus diselesaikan.
Selain itu, Johan mengatakan, pembahasan terkait rancangan beleid ini cenderung fokus pada energi baru sebagai opsi transisi energi, yang masih mengakomodasi penggunaan energi fosil seperti. Energi baru tersebut misalnya batu bara tergaskan, batu bara tercairkan, serta nuklir.
Di sisi lain, hingga saat ini, belum ada regulasi level undang-undang yang mengatur tentang transisi energi atau energi terbarukan, kecuali UU No 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi.
Harapan untuk DPR Baru
Johan mengatakan, DPR RI periode baru, terutama komisi yang membidangi energi, seharusnya menjadikan RUU EBET sebagai prioritas. Hal itu demi mempercepat transisi energi dan menghadapi tantangan krisis iklim.
“Seperti menargetkan minimal 40% dari total rapat untuk topik ini guna mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam yang tidak terbarukan,” ujarnya.
Laporan IPC juga menunjukan praktik rapat tertutup masih cukup sering dilakukan Komisi VII, yang mencapai 24% dari total rapat. Hal ini bertentangan dengan prinsip transparansi, keterbukaan informasi, dan akuntabilitas publik. Terlebih, rapat tertutup tersebut didominasi oleh agenda minerba sebanyak 19 rapat dan migas 17 rapat, sedangkan RUU EBET hanya 8 rapat.
Rapat tertutup yang lebih banyak terjadi di sektor minerba dan migas menimbulkan kekhawatiran, lantaran sektor ini sering kali melibatkan kepentingan ekonomi yang besar dan konflik kepentingan. Apalagi, komisi VII memiliki rekam jejak buruk terhadap proses legislasi, yakni pengesahan Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) pada 2020, yang tergesa-gesa dan kurang melibatkan partisipasi publik.
Johan mengatakan, pembahasan RUU EBET secara tertutup juga mengkhawatirkan. Transparansi pembahasan RUU EBET sangat penting karena krusial untuk masa depan Indonesia. Kebijakan yang diambil dalam sektor ini akan berdampak jangka panjang pada lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
"Karenanya, proses legislasi perlu dilakukan secara terbuka dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil,” jelasnya.
Sementara itu, peneliti Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Syahrini, mengatakan DPR periode 2024-2029 untuk tidak terburu-buru mengesahkan berbagai beleid yang drafnya telah disusun, seperti RUU EBET dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN).
Menurutnya, RUU EBET dan RPP KEN tidak menjawab tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Selain sarat kepentingan energi fosil, rancangan beleid tersebut tidak menetapkan target energi terbarukan yang ambisius.
Dia mengatakan, klausul dalam RUU EBET dan RPP KEN juga tidak mendorong keekonomian proyek energi terbarukan. Padahal, hal ini salah satu caranya bisa dilakukan dengan mengurangi subsidi batu bara, misalnya.
"Karenanya, DPR periode baru perlu memperbaiki draf RUU EBET dan mencabut persetujuan RPP KEN,” ujar Syahrini.
Syahrini mengatakan, pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan, mengingat dampak dari kebijakan juga akan dirasakan oleh masyarakat. Saat ini, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan hanya berada di level akhir, misalnya dalam penyusunan RUU EBET.
“Kami berharap DPR periode baru bisa lebih terbuka dalam pembahasan kebijakan energi ke depannya, juga secara proaktif melibatkan masyarakat sipil dalam penyusunannya,” ujarnya.