Wamen ESDM: Indonesia Masih Defisit 2 Juta Ton Metanol untuk Implementasi B50

Ringkasan
- Manajemen eFishery diduga berbohong soal keuntungan kepada investor. Laporan awal menunjukkan perusahaan merugi US$ 35,4 juta dan menggelapkan dana hampir US$ 600 juta selama Januari September 2024.
- Investigasi dimulai setelah ada pelaporan dari whistleblower tentang ketidakakuratan laporan keuangan. Pembukuan internal menunjukkan kerugian yang dipertahankan eFishery sekitar US$ 152 juta selama Januari November 2024.
- Jajaran direksi eFishery membebastugaskan sementara CEO dan Chief Product Officer setelah dugaan penyelewengan uang perusahaan, termasuk penggelembungan pendapatan.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Wamen ESDM) Yuliot Tanjung menyampaikan Indonesia membutuhkan 2,3 juta ton metanol untuk mengimplementasikan program biodiesel 50 (B50) pada 2026. Namun, produksi metanol di dalam negeri baru sekitar 300 ribu ton, sehingga kekurangan 2 juta ton.
“Berarti, 2 juta ton masih impor. Jadi, kami lagi mendorong ini PSN bioetanol yang ada di Bojonegoro. Itu yang lagi kami kejar,” kata Yuliot di Jakarta, Jumat (14/3).
Sebelumnya, Yuliot menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan biodiesel 50 (B50) dengan dengan volume 19,73 juta kiloliter (kl) dibutuhkan sawit sebanyak 17,9 juta ton dan memerlukan tambahan lahan seluas 2,3 juta ha.
Selanjutnya, untuk memproduksi 23,67 juta kl B60, dibutuhkan sawit sebanyak 21,5 juta ton dan tambahan lahan sawit seluas 3,5 juta ha. Sementara untuk memproduksi 39,45 juta kl B100, dibutuhkan sawit sebanyak 35,9 juta ton dengan tambahan lahan seluas 4,6 juta ha.
Yuliot menyampaikan bahwa untuk tambahan lahan tersebut, pemerintah membuka kemungkinan pemanfaatan kebun-kebun masyarakat maupun koperasi untuk memenuhi kebutuhan implementasi B50–B100.
Kebutuhan insentif yang sudah disiapkan, kata dia lagi, kurang lebih Rp47,1 triliun. Kebutuhan sawit yang saat ini ada sekitar 14,3 juta ton.