Taksonomi Hijau OJK Dikritik karena Labelisasi "Kuning" Batu Bara
Sejumlah kalangan mengkritik dokumen taksonomi hijau yang disusun oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Januari lalu, karena dianggap tidak sesuai dengan komitmen iklim pemerintah Indonesia.
Pasalnya, dokumen tersebut mengklasifikasi tambang batu bara sebagai 'kuning' atau tidak berbahaya, yang kontraproduktif terhadap komitmen Indonesia untuk mengakhiri penggunaan batu bara pada COP 26 dan target net zero emission 2060.
Fiona Armintasari, Peneliti Prakarsa dan Koalisi ResponsiBank mengatakan, taksonomi hijau seharusnya memiliki kekuatan untuk mengarahkan kembali lembaga jasa keuangan sejalan dengan tujuan iklim nasional seperti Komitmen Paris Paris dan SDGs.
“Juga memberikan penekanan kepada investor dan lembaga pembiayaan mengenai industri yang dianggap hijau dan mengurangi celah greenwashing. (Karena) Taksonomi hijau adalah kunci utama agenda keuangan berkelanjutan di Indonesia,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (11/2).
Namun, menurut Fiona, yang menjadi perhatian dari dokumen tersebut adalah soal pertambangan dan PLTU batu bara yang masih dimasukkan sebagai bagian dari taksonomi.
Menurut dokumen tersebut, sektor pertambangan batu bara harus memenuhi beberapa kriteria jika ingin masuk dalam kategori “kuning”. Salah satunya adalah standar baku mutu emisi (BME), yaitu jumlah emisi yang diizinkan untuk dikeluarkan oleh proyek.
Namun, pengaturan BME masih menimbulkan banyak kekhawatiran karena dianggap tidak sesuai dengan skenario 1,5°C yang disepakati untuk mencegah pemanasan global.
“Selain itu, penggunaan CCUS seharusnya tidak menjadi bagian dari solusi. Pencantuman PLTU batu bara yang tetap menjadi bagian dari rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL 2021-2030) dalam taksonomi menyesatkan karena masih berlabel 'hijau',” kata dia.
Oleh karena itu dia menilai OJK harus secara tegas dan bertahap mengecualikan batubara dari taksonomi hijau Indonesia jika ingin memimpin jalan menuju pencapaian nol emisi bersih pada tahun 2060.
Theresia Betty Sumarno, Energy Policy Analyst di The International Institute for Sustainable Development (IISD) mengatakan bahwa teknologi untuk membuat industri batu bara mengurangi polusi, seperti sistem penangkapan dan penyimpanan karbon (CCUS), mahal dan akan secara signifikan meningkatkan biaya listrik.
Menurut dia, solusi energi bersih, seperti energi terbarukan dan solusi efisiensi energi, jauh lebih efisien untuk mencapai target iklim Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus mulai menghapus batu bara secara bertahap dan mendukung alternatif untuk memastikan transisi yang mulus dan adil dari bahan bakar fosil.
“Taksonomi hijau harus dirancang untuk memajukan, bukan menunda, transisi energi yang sedang berlangsung, dan untuk mendukung penyerapan energi terbarukan secara cepat. Ini adalah satu-satunya cara bagi negara untuk bergerak menuju ekonomi hijau dan mencapai target iklimnya,” ujarnya.
Andri Prasetiyo Program Manager Trend Asia menjelaskan taksonomi hijau sayangnya tidak mendorong bank atau lembaga pembiayaan untuk melaporkan portofolio emisi yang tinggi, seperti batu bara dan gas.
Padahal adanya risiko terkait iklim dan tren global penghapusan batu bara, menjadi penting bagi bank untuk segera bergerak keluar dari investasi batubara secara keseluruhan baik dalam pembiayaan perusahaan yang masih memiliki batu bara dalam portofolionya maupun pembiayaan segala bentuk proyek batu bara.
"Tidak terbatas pada pembangkit listrik tenaga batu bara, tetapi juga di pertambangan batu bara, proyek-proyek terkait hilir batu bara seperti gasifikasi batu bara," ujarnya.
Taksonomi hijau Indonesia dianggap akan melemahkan komitmen iklim, karena Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan International Energy Agency (IEA) telah merekomendasikan untuk tidak ada lagi investasi lanjutan untuk proyek bahan bakar fosil, seperti gas, untuk menjaga pemanasan global terbatas pada 1,5°C.
Pada 20 Januari 2022 OJK merilis rancangan taksonomi hijau, atau pedoman untuk investasi berkelanjutan. Rencana tersebut menganalisis 919 sektor usaha dan subsektor dari 2.733, dan mengkategorikannya sebagai 'hijau', 'kuning', atau 'merah'.
Ini mengurutkan investasi mulai dari yang memberikan “dampak positif” bagi lingkungan dan sejalan dengan tujuan lingkungan taksonomi (hijau), yang “tidak membahayakan” (kuning), dan yang merusak lingkungan (merah).