Pajak Karbon Dinilai Terlalu Murah, Kredit Karbon Terancam Tak Laku

Nadya Zahira
24 Agustus 2023, 18:16
pajak karbon, kredit karbon, perdagangan karbon
Leonid Sorokin/123RF
Ilustrasi emisi karbon.

CEO Indonesia Climate Exchange (ICX) Megain Widjaja meminta pemerintah untuk tidak menerapkan pajak karbon yang terlalu rendah. Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP pemerintah menetapkan besaran tarif pajak karbon minimal Rp 30 per Kg CO2 ekuivalen.

Menurut Megain, penetapan besaran tarif tersebut terlalu rendah. Pasalnya, dia khawatir jika pajak karbon terlalu rendah maka dapat mempengaruhi tidak lakunya penjualan karbon kredit yang ada di Indonesia.

Ditambah, jika harga pajak karbon terlalu rendah, maka pengusaha bisa dengan mudahnya hanya membayar pajak yang murah tanpa memikirkan besaran karbon yang telah dikeluarkan oleh perusahaannya.

“Karena saya sebagai industri, saya nantinya akan lebih memilih untuk membayar pajak karbon saja karena murah. Jadi karbon proyeknya malah tidak ada yang membeli karena harganya terlalu mahal,” ujar Megain, saat ditemui Katadata.co.id, di Jakarta, Kamis (24/8).

Dia mengatakan, adanya kebijakan pajak karbon memang merupakan angin segar dalam upaya mencapai target pengurangan emisi karbon. Pasalnya, pemerintah akan kesulitan memenuhi target ratifikasi Perjanjian Paris 2015 jika hanya mengandalkan upaya meningkatkan porsi bauran energi baru terbarukan (EBT) dengan target 23% pada 2025.

“Namun kalau pajak karbonnya terlalu rendah juga saya rasa sama saja sulit untuk bisa membantu mencapai target bauran EBT 23% di 2025 itu,” ujarnya.

Dia menyebutkan, tarif pajak karbon tersebut jauh lebih rendah dari Singapura US$ 3.71 per ton CO2e atau US$ 0.0040 per kilogram CO2e atau sekitar Rp 56.89 per kilogram CO2e. Padahal, jumlah emisi yang dihasilkan Indonesia jauh di atas Singapura.

Pajak Karbon Belum Berlaku

Sementara itu, jadwal implementasi pajak karbon masih belum jelas hingga sekarang setelah molor lebih dari setahun dari rencana awal diluncurkan pada April tahun lalu. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pihaknya akan hati-hati sebelum memberlakukan instrumen baru ini.

Sri Mulyani mengatakan, penerapan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Ia ingin dampak positif instrumen ini bisa dicapai namun pada saat yang sama pihaknya juga memperhatikan aspek negatifnya. Meski demikian, ia tak secara gamblang merinci dampak negatif apa saja yang timbul dari pajak karbon.

"Kita ingin perekonomian Indonesia mampu terus berlanjut dari sisi pertumbuhan dan stabilitas, namun juga mampu melakukan transformasi," ujar Sri Mulyani dalam sebuah webinar pagi ini, Selasa (6/6).

Instrumen baru ini semula dijadwalkan meluncur pada awal April tahun lalu. Rencana itu kemudian molor tiga bulan hingga direncanakan baru berlaku pada awal Juli. Saat itu, Kemenkeu beralasan masih perlu harmonisasi aturan dan mempertimbangkan pemulihan ekonomi.

Namun, rencana penerapan awal Juli pun kembali batal. Alasannya masih sama, pemerintah masih perlu mematangkan aturan dan menyelaraskannya dengan skema pasar karbon. Meski tertunda untuk kedua kalinya, Kementerian Keuangan saat itu tetap ingin penerapannya dilakukan pada 2022 dan 'dipamerkan' pada KTT G20 akhir tahun lalu.

Mengutip UU 7 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pasal 13 ayat (2), implementasi pajak karbon akan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau pasar karbon.

Peta jalan pajak karbon memuat empat aspek, yakni strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, memperhatikan pembangunan energi baru dan terbarukan serta keselarasan antar berbagai kebijakan.

Beleid itu juga merincikan roadmap penerapan pajak karbon. Tahun 2021 dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon. Tahun 2022-2024, penerapan pajak karbon sesuai skema cap and tax secara terbatas pada PLTU batu bara. Pada 2025, penerapan pajak karbon untuk sektor lainnya.

Reporter: Nadya Zahira

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...