Dutch Disease, Penyakit Makroekonomi yang Intai Indonesia
“Kontras antara kondisi yang sehat secara eksternal namun berpenyakit di dalam inilah gejala dari Dutch disease,” tulis majalah The Economist.
Efek Bagi Indonesia
Pandangan berbeda muncul dari ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI, Teuku Riefky. Menurutnya, Dutch disease tidak melulu dilihat dari penguatan sektor komoditas yang menekan industri manufaktur. Biasanya fenomena ini terjadi kala perekonomian suatu negara sangat bergantung terhadap pertumbuhan yang mengandalkan komoditas.
Tapi penyakit ini ia lihat sudah mulai sering menjangkit Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Gejalanya bisa dilihat sejak empat hingga lima kuartal terakhir, yakni sejak lonjakan harga komoditas kuartal ketiga 2021.
“Risiko ini cukup nyata dan sebetulnya sudah ada pertandanya, setiap harga komoditas meningkat maka penerimaan negara meningkat signifikan. Akhirnya, belanja mengandalkan siklus harga komoditas. Ini gejala Dutch disease, dimana performa penerimaan, belanja, serta pertumbuhan ekonomi bergantung pada performa harga komoditas,” ujar Riefky.
Adapun lonjakan harga komoditas sejak tahun lalu ini membuat neraca dagang Indonesai berulang kali mencetak rekor ekspor positif. Kondisi ini semakin meningkat karena perang di Ukraina yang mengerek harga energi dan pangan dunia.
Di Indonesia, efek ledakan komoditas yang mengerek Dutch disease bisa membuat negara terlena dan terus bergantung pada komoditas untuk pertumbuhan ekonomi. Dengan itu, ekonomi Indonesia bisa melambat saat harga komoditas turun.
Sama halnya dengan aliran investasi ke sektor produktif yang berpotensi menurun karena dialihkan ke sektor komoditas. Kata Riefky, porsi penyaluran kredit ke sektor komoditas seperti minyak kelapa sawit di Indonesia masih cukup besar.
“Bahaya lainnya, ini akan membatasi ruang fiskal pemerintah untuk melakukan kebijakan countercyclical bila penerimaan bergantung dari harga komoditas,” kata Riefky.