Mengenang S.K. Trimurti, Menteri Tenaga Kerja Pertama Indonesia

Image title
11 Mei 2023, 21:23
Ilustrasi, S.K. Trimurti diapit oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin usai pelantikan sebagai Menteri Perburuhan, 1947.
Dok. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Ilustrasi, S.K. Trimurti diapit oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin usai pelantikan sebagai Menteri Perburuhan, 1947.

S.K. Trimurti juga merupakan salah satu tokoh muda yang mendesak proklamasi kemerdekaan Indonesia secara mandiri, tanpa campur tangan Jepang. Ia bersama dengan Chaerul Saleh, Asmara Hadi, A.M. Hanafi, Soediro, dan Sayuti Melik, menemui Soekarno di lapangan terbang Kemayoran setelah kembali dari Vietnam 14 Agustus 1945, dan mendesak agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

S.K. Trimurti kemudian menjadi saksi detik-detik proklamasi kemerdekaan, dan menjadi salah satu tokoh yang turut membantu menyebarkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia ke Semarang, serta menyelesaikan pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) di kota tersebut.

Ilustrasi, S.K. Trimurti bersama anak pertamanya, Moesafir Karma Boediman, 1939.
Ilustrasi, S.K. Trimurti bersama anak pertamanya, Moesafir Karma Boediman, 1939. (Dok. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

Menjadi Menteri Tenaga Kerja, Membidani UU Perburuhan Pertama Indonesia

Pasca-kemerdekaan Indonesia, peran S.K. Trimurti tidak menciut, namun semakin penting bagi berjalannya roda pemerintahan Indonesia. Pada 1947 ia menjadi Menteri Tenaga Kerja (saat itu Menteri Perburuhan) dalam Kabinet Amir Syarifuddin I.

Sebagai Menteri Perburuhan, S.K. Trimurti turut membidani beberapa aturan mengenai ketenagakerjaan atau perburuhan, menggantikan aturan peninggalan pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah pendudukan Jepang.

Salah satu aturan yang merupakan terobosan nyata bagi kesejahteraan buruh di awal kemerdekaan Indonesia, adalah Undang-undang (UU) Nomor 33 tahun 1947. UU ini mengatur tentang pembayaran ganti rugi kepada buruh yang mengalami kecelakaan di tempat kerja.

Melalui UU 33/1947, para buruh dilindungi dengan diharuskannya perusahaan untuk membayar ganti kerugian kepada buruh yang mendapat kecelakaan sehubungan dengan hubungan kerja. Ini termasuk ketika buruh mengalami sakit ketika menjalankan pekerjaan.

UU ini juga memerinci bidang-bidang usaha yang diharuskan membayar ganti rugi kepada buruh yang mengalami kecelakaan di tempat kerja. Tak hanya bagi buruh yang berstatus buruh tetap, perlindungan terhadap kecelakaan kerja ini juga berlaku untuk pegawai magang dan pekerja borongan.

UU yang disusun oleh S.K. Trimurti ini juga memerinci bentuk-bentuk ganti rugi kepada buruh. Seperti, biaya transportasi ke rumah sakit, biaya pengobatan, serta uang tunjangan yang disesuaikan dengan kontrak antara perusahaan dan buruh.

UU 33/1947 kemudian diikuti dengan ditetapkannya UU Nomor 34 tahun 1947 yang mengatur tentang perlindungan buruh dalam kondisi perang. Kelahiran dua UU ini merupakan bentuk nyata kiprah S.K. Trimurti dalam memperjuangkan hak-hak buruh di awal kemerdekaan Indonesia.

Selain membidani dua UU perburuhan, ia juga turut aktif terjun ke lapangan untuk menyatukan berbagai organisasi buruh yang berbeda kepentingan, untuk memusatkan perhatian kepada tujuan perjuangan kemerdekaan.

Aktif dalam Organisasi Perempuan

Selain dalam aktivitas pers dan politik, S.K. Trimurti juga aktif dalam gerakan perempuan. Pada awal 1950 bersama Umi Sardjono ia turut mendirikan organisasi Barisan Buruh Wanita (BBW) dan Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), yang pada 1954 berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Ia juga aktif menulis di Api Kartini dan Harian Rakjat dengan tulisan-tulisan yang bertujuan memperjuangkan nasib perempuan agar sejajar dengan laki-laki. Ia juga kerap mengkritik kebiasaan di masyarakat yang menganggap perempuan sebagai pelengkap atau hanya embel-embel laki-laki semata.

S.K. Trimurti juga merupakan sosok yang menentang keras praktik poligami. Ia bahkan berani mengkritik poligami yang dilakukan oleh Soekarno, yang tak lain merupakan sosok yang ia kagumi sekaligus alasan ia terjun dalam pergerakan politik.

Kritik terbuka yang disuarakan S.K. Trimurti saat itu membuat hubungannya dengan Soekarno sedikit renggang. Bahkan, saat menyematkan penghargaan Bintang Mahaputra kepada S.K. Trimutri, raut muka Soekarno terlihat cemberut. Namun, seiring berjalannya waktu hubungan keduanya membaik, dan ia kemudian cukup sering menjadi teman diskusi Sang Proklamator.

Prinsipnya menentang poligami juga terlihat saat sang suami, Sayuti Melik, menaruh hati kepada perempuan lain bernama Siti Rancari. Keduanya kemudian bercerai pada 1969.

Dalam memarnya, S.K. Trimurti menyebut bahwa perkawinan adalah bentuk sebuah kongsi untuk bisa mengerjakan sesuatu bersama. Tapi, ketika sudah tidak mungkin dikongsikan, maka ia tidak mau memaksakan.

Di masa tuanya, ia tetap aktif menulis mengenai masalah politik, sosial-ekonomi, perempuan, dan perburuhan. Tulisan-tulisannya dimuat di berbagai surat kabar dan majalah, seperti Kedaulatan Rakyat, Gema Angkatan 45, Suara Perwari, Pradjoerit, Harian Nasional, dan Majalah Revolusioner.

S.K. Trimurti menghembuskan nafas terakhir pada 20 Mei 2008. Jurnalis perempuan sekaligus pejuang kemerdekaan Indonesia dan pejuang emansipasi ini wafat di usia 96 tahun.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...