Profil Jusuf Kalla, Eks Wapres Sebut Modal Jadi Ketum Golkar Rp 500 M
Mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla memperkirakan modal untuk menjadi pemimpin partai ini berkisar antara Rp 500 miliar hingga Rp 600 miliar. Hal tersebut ia kemukakan di tengah dorongan penggantian pemimpin di Partai Beringin.
Menurut politisi yang akrab disebut JK itu, modal finansial menjadi salah satu syarat untuk memperoleh kursi pemimpin di hampir semua partai politik. Namun, Partai Golkar memakan biaya yang relatif lebih mahal karena telah lepas dari kendali pendiri.
Modal yang dibutuhkan diperkirakan berbeda untuk menjadi pemimpin partai yang masih berada di bawah kontrol pendirinya, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Nasional Demokrat (NasDem).
Partai Golkar kini menghadapi desakan dari sebagian anggota untuk mengganti ketua umum petahana Airlangga Hartarto lewat musyawarah nasional luar biasa. “Partai yang sudah go public, pemilihannya butuh biaya besar,” kata JK di kantor Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta Pusat pada Senin (31/7).
Dari Pengusaha ke Wakil Presiden
Lahir dari keluarga pengusaha, JK membangun kariernya dari bisnis keluarga sejak 1967. Pria kelahiran Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, ini mengawali perjalanannya sebagai pengusaha dengan memimpin NV Hadji Kalla Trading Company. Ini merupakan perusahaan perdagangan yang didirikan ayahnya, Hadji Kalla, pada 1952.
JK memperoleh kepercayaan dari ayahnya untuk memimpin NV Hadji Kalla Trading Company setelah ia memperoleh gelar sarjana. Pria kelahiran 15 Mei 1942 itu menyelesaikan studi sarjananya di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 1967.
Saat masih menjadi mahasiswa, JK aktif terlibat dalam beragam organisasi. Pria yang akrab disapa Daeng Ucu ini, misalnya, pernah memimpin Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Makassar antara 1965 dan 1966. Ia juga pernah memimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (Kami) antara 1967 dan 1969.
JK mulai mengemban jabatan publik tingkat tinggi pada 1999 ketika ia memperoleh mandat untuk menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Ia mengemban jabatan ini antara Agustus 1999 dan Oktober 2000, di bawah kepemimpin Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Karier politik JK memasuki babak baru ketika ia menjadi Wakil Presiden ke-10 pada Oktober 2004. Pria berdarah Bugis ini mendampingi Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama satu periode hingga Oktober 2009.
Pada Juli 2009, JK gagal memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) sebagai calon presiden. Ia maju bersama ketua umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto. Di sisi lain, SBY berhasil memperpanjang kepemimpinannya hingga Oktober 2014 bersama Boediono.
JK kembali menjadi Wakil Presiden ke-12 setelah memenangkan Pilpres pada Juli 2014. Kali ini ia berpasangan dengan Joko Widodo alias Jokowi sebagai presiden.
Menjadi Ketua Umum Partai Golkar
JK memimpin Partai Golkar pada Desember 2004 hingga Oktober 2009. Hanya dua bulan setelah mengambil sumpah Wakil Presiden, ia menggantikan Akbar Tandjung sebagai ketua umum Partai Golkar yang ke-8.
Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), JK melaporkan pada Mei 2004 kekayaan bersih Rp 200,3 miliar. Kekayaan bersih ini lebih rendah dari modal finansial yang diperkirakan JK dibutuhkan untuk menjadi ketua umum Partai Golkar saat ini.
Pada Desember 2018, JK melaporkan kekayaan bersihnya telah mencapai Rp 900,8 miliar. Kekayaan bersih ini tumbuh 4,5 kali lipat dalam 14 tahun.