Uang Merah vs Uang Putih, Perang Valuta di Masa Revolusi Kemerdekaan

Image title
20 Mei 2022, 11:47
uang
ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pras.
Ilustrasi, pedagang menunjukkan pecahan uang rupiah kuno di Pasar Baru.

Di masa awal-awal perang mata uang, nilai ORI cenderung kuat melawan uang NICA, di mana satu ORI berbanding 2 uang NICA. Namun, dalam perjalanannya nilai ORI terus menyusut hingga 1:5. Bahkan, pada saat Agresi Militer Belanda II, nilai ORI turun tajam, dengan perbandingan butuh 500 ORI untuk menebus 1 florin uang NICA.

Kemerosotan ORI atau Uang Putih ini, disebabkan karena beberapa hal, yakni makin sempitnya wilayah Republik Indonesia, tekanan Belanda kepada penduduk yang memegang ORI, dan inflasi.

Namun, peredaran ORI tetap tidak dapat dibendung oleh NICA. Penyebabnya adalah, pemerintah Indonesia saat itu mengambil kebijakan deficit-financing, yakni upaya mengatasi kekurangan anggaran dengan mencetak ORI sebanyak-banyaknya. Ini memang menyebabkan inflasi, namun jumlah ORI yang beredar menjadi banyak.

Selain itu, meski NICA berupaya membendung ORI di beberapa daerah pendudukan, pemerintah di masing-masing daerah tersebut mengeluarkan ORI cetakan sendiri. Uang ini dikenal sebagai ORI daerah atau ORIDA.

Keberadaan ORIDA ini dijamin melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.19/1947. Aturan ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menerbitkan mata uang atau alat pembayaran sementara yang sah. Pemerintah pusat juga menjamin seluruh penerbitan ORIDA dapat ditukarkan dengan ORI.

Oleh karena itu, meski awalnya NICA melalui Uang Merah berhasil menyudutkan ORI, namun hingga 1949 perang valuta berjalan ketat karena hadirnya Uang Putih bentukan daerah, atau ORIDA. Upaya NICA menjegal ORI dengan intimidasi atau pemalsuan pun tidak efektif.

Kemenangan Uang Putih dan Berakhirnya Perang Valuta

Perang mata uang yang terjadi di Indonesia selama masa revolusi kemerdekaan berakhir pada 1949, yakni menjelang dilaksanakannya Konferensi Meja Bundar (KMB).

Sebelumnya, saat Belanda meninggalkan Yogyakarta menjelang akhir 1949, Menteri Negara/Koordinator Keamanan Sri Sultan Hamengkubowono IX menetapkan ORI sebagai alat pembayaran yang sah. Namun di saat bersamaan, ia juga mengizinkan uang NICA tetap beredar, sebagai salah satu bentuk kompromi.

Namun, penarikan diri Belanda dari Yogyakarta tidak membuat perang mata uang berakhir, karena antara Uang Putih dan Uang Merah masih memperebutkan eksistensinya di wilayah Indonesia.

Kekalahan Uang Merah ditandai dengan perundingan KMB. Pada saat perundingan dimulai, Belanda meminta uang NICA atau Uang Merah ditetapkan sebagai alat pembayaran yang sah. Permintaan ini segera ditolak mentah-mentah oleh Indonesia.

Namun, saat itu pemerintah melalui Menteri Negara/Koordinator Keamanan Sri Sultan Hamengkubowono IX tidak secara tegas menolak Uang Merah saat KMB berlangsung. Pemerintah justru mengajukan usulan baru, yakni mempersilahkan Belanda melakukan jajak pendapat untuk mengetahui respons terhadap dua mata uang yang berlaku.

Jajak pendapat atau survei diusulkan, agar Belanda bisa mengetahui apakah masyarakat Indonesia benar-benar menghendaki Uang Merah atau tidak.

Melalui jajak pendapat di daerah-daerah pendudukan, didapati bahwa masyarakat menolak tegas keberadaan Uang Merah atau uang NICA, dan lebih menghendaki ORI atau Uang Putih sebagai alat pembayaran yang sah.

Dengan demikian berakhirlah perang valuta atau perang mata uang yang berlangsung selama empat tahun, sejak 1945 hingga 1949. Hingga penyerahan kedaulatan dan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah adalah ORI.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...