Sejarah Perundungan Dokter, Terjadi Sejak Era Kolonialisme Belanda
Kala itu penataran siswa baru dikenal dengan istilah “ontgroening”. Kata groen artinya hijau, melambangkan murid baru yang masih hijau. Ontgroening bertujuan untuk menghilangkan warna “hijau” tersebut.
“Dia harus diperlakukan agar dalam waktu singkat menjadi dewasa, berkenalan dengan teman-teman seluruh Stovia," kata Roem.
Di Stovia ontgroening berlangsung selama tiga bulan, namun tak boleh dilakukan saat waktu belajar dan waktu istirahat. Kegiatan ini juga diawasi secara ketat sehingga tak ada kejadian yang melampaui batas.
Materi ontgroening saat itu hanya seputar perkenalan latar belakang siswa. Roem menceritakan bahwa ia yang bersuku jawa diminta untuk menghafal aksara jawa secara urut dari belakang.
"Waktu (ontgroening) dibatasi … masih banyak waktu di luar itu (waktu belajar dan istirahat) dan memang suasana ramai selama 3 bulan pertam," ungkap Roem.
Ontgroening di balik tembok asrama STOVIA tidak boleh menggunduli kepala siswa dan hanya dilakukan dalam lingkungan sekolah.
Praktik Perundungan Fisik Era Jepang
Jika penataran siswa kedokteran di era Belanda terbatas pada pengenalan latar belakang siswa dengan sedikit bumbu “gertakan”, maka sekolah kedokteran era penjajahan Jepang (Ika Daigaku) memulai praktik perisakan secara fisik.
Ika Daigaku saat itu mengenalkan perpeloncoan yang berasal dari kata plonco, artinya kepala gundul. Masa-masa ontgroening pun beralih istilah menjadi “Pelonco” di masa pendudukan Jepang.
“Hanya anak kecil yang memiliki kepala gundul pada waktu itu. Sehingga anak kecil yang gundul perlu diberi pengetahuan dan petunjuk untuk masa depannya,” kata mahasiswa Ika Daigu (Sekolah Kedokteran), seperti dikutip R. Darmanto Djojodibroto dalam Tradisi Kehidupan Akademik.
Di Jepang hanya kaisar sebagai keturunan Dewa Matahari yang boleh punya rambut, sehingga kepala gundul menjadi kelaziman laki-laki di era tersebut.
Praktik perundungan senior-junior terus berlanjut hingga masa revolusi kemerdekaan, contohnya di Universitas Indonesia pada April 1949, Klaten, Solo, dan Malang. Pada dekade 1950-an banyak sekolah tinggi dibuka, praktik pelonco berkembang lebih buruk, tak lagi mengacu pada penggundulan mahasiswa baru, melainkan dibentak dan diperintah senior.